skip to main | skip to sidebar

Featured Post 3

Selasa, 24 April 2012

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH



Nama : Fuktiatun Nadiroh 

Kelas : 4 G Ekonomi Pembangunan

Dosen Pengajar : Umayatul Suiroh. SE 




Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi geografi yang terdapat pada masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (Development Region) dan wilayah terbelakang (Underdevelopment Region). Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.


Analisa pada bab ini dimulai dengan pembahasan tentang Hipotesa Noe-Klasik yang merupakan dasar toritis terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Termasuk dalam analisa ini adalah hasil studi dari Jeffrey G. Williamson yang melakukan pengetesan terhadap kebenaran Neo-Klasik tersebut. Kemudian pembahsan dilanjutkan dengan ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan menggunakan Williamson Index dan ukuran ketimpangan lainnya. Selanjutnya pula dengan pembahasan tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia yang dilanjutkan dengan factor – factor utama yang menentukan ketimpanngan tersebut. Terakhir dilakukan pembahasan tentang beberapa kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menanggulangan ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut.


5.1 Hipotesa Neo-Klasik

Secara teoritis permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah mula – mula dimunculkan oleh Douglas C North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo-Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antar tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu Negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik yang menarik perhatian para ekonom dan perencana pembangunan daerah.


Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur – angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara – negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf U terbalik (Reserve U-shape Curve) sebagaimana telah dijelaskan pada bab 4 terdahulu.


Pertanyaan yang menarik adalah mengapa pada waktu proses pembangunan dilaksanakan di negara sedang berkembang, justru ketimpangan meningkat? Jawabannya adalah karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai di negara sedang berkembang. Kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah – daerah yang kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedangkan daerah – daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan oleh factor ekonomi, tetapi juga oleh factor social-budaya sehingga akibatnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan.


Keadaan yang berbeda terjadi di Negara yang sudah maju dimana kondisi daerahnya ummnya telah dalam kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumberdaya manusia. Disamping itu, hambatan-hambatan social dan budaya dalam proses pembangunan hampir tidak ada sama sekali. Dalam kondisi yang demikian, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya, proses pembangunan pada Negara maju akan cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilyah.


Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Jefrey G. Willamson pada tahun 1996 melalui suatu studi tentang ketimpangan pembnagunan antar wilayah pada negara maju dan Negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross-section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa Hipotesa Neo-Klasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara empiric. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu Negara tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilyah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal sebaliknya.


Fakta empiric ini menunjukan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di Negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh Negara. Bahkan ketika Amerika Serikat mulai melaksanakan proses pembangunan pada abad kedelapan belas dulu, peningkatan ketimpangan pembangunan antar wilayah juga meningkat tajam. Peningkatan ketimpangan ini bahkan sampai memicu terjadinya perang saudara antar Negara bagian di Selatan yang masih relative tertinggal dengan Negara bagian di Utara yang sudah lebih maju. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dengan adanya pemberontakan PRRI-Persemesta di Sumatera Barat tahun 1957, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).


5.2 Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Melihat ketimpangan pembangunan antar wilayah dalam suatu Negara atau suatu daerah bukanlah hal yang mudah karena hal ini dapat menimbulkan debat yang berkepanjangan. Adakalannya masyarakat berpendapat bahwa ketimpangan suatu daerah cukup tinggi setelah melihat banyak kelompok miskin pada daerah bersangkutan. Akan tetapi ada pula masyarakat merasakan adanya ketimpangan yang cukup tinggi setelah melihat adanya segelintir kelompok kaya ditengah-tengah masyarakat yang umumnya masih miskin. Perlu diingat disini bahwa, berbeda dengan distribusi pendapatan yang melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat., ketimpangan pembangunan antar wilayah melihat perbedaan antar wilayah. Hal yang dipersoalkan disini bukan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, tetapi adalah perbedaan antar daerah maju dan daerah terbelakang.


Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula – mula ditemukan adalah Williamson index yang digunakan dalam studinya pada tahun 1966. Secara ilmu Statistik, index ini sebenarnya ad lah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Istilah Williamson Index muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula – mula menggunakan teknik ini untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Walaupun index ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain sensitive terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.


Berbeda dengan Gini Rasio yang lazim digunakan dalam mengukur distribusi pendapatan, Williamson Index menggunakan Produk Domestik Regiona Bruto (PDRB) perkapita sebagai data dasar. Alasannya jelas karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok. Dengan demikian, formulasi Indeks Williamson ini secara statistic dapat ditampilkan sebagai berikut:


Vw = i=1n(yi-y)2(fi/n)y 0<Vw<1 (5.1)



Dimana yi = PDRB perkapita daerah i

y = PDRB perkapita rata – rata seluruh daerah

fi = Jumlah penduduk daerah i

n = Jumlah penduduk seluruh daerah


Subskrip w digunakan karena formulasi yang digunakan adalah secara tertimbang sehingga indeks tersebut dapat dibansingkan dengan Negara atau daerah aslinya. Sedangkan pengertian indeks ini adalah sebagai berikut : bila Vw mendekati 1 berarti sangat timpang dan bila Vw mendekati nol berarti sangat merata.


Indeks lainnya yang juga lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah Theil Index sebagaimana digunakan oleh Akita dan Alisyahbana (2002) dalam studinya yang dilakukan di Indonesia. Sedangkan data yang diperlukan untuk mengukur indeks ini adalah sama dengan yang dipetlukan untuk menghitung Williamson Index yaitu PDRB perkapita untuk setiap wilayah dan jumlah penduduk. Demikian pula halnya dengan penafsirannya yang juga sama yaitu bila indeks mendekati 1 artinya sangat timpang dan sebaliknya bila indeks mendekati 0 yang berarti sangat merata. Sedangkan formulasi Theil Index (Td) adalah sebagai berikut :


Td = i=1nj=1n{yij/Y} log [{yij/Y}/{nij/N}] (5.2)



Dimana : yij = PDRB perkapita kabupaten i di provinsi j

Y = Jumlah PDRB perkapita seluruh privinsi j

n = Jumlah penduduk kabupaten i di provinsi j

N = Jumlah penduduk seluruh kabupaten


Namun demikian, pengguna Theil Index sebagai ukuran ketimpangan mempunyai kelebihan tertentu. Pertama, indeks ini dapat menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan analisa menjadi lebih luas. Dalam kasus Indonesia, dengan menggunakan metode ini dapat dihtung ketimpangan dalam provinsi dan kabupaten/kota serta antar provinsi, kabupaten dan kota. Kedua, dengan menggunakan indeks ini dapat pula dihitung kontribusi (dalam persentase) masing – masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup penting.


Bilamana pembahasan dilanjutkan dengan analisa tentang factor – factor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan wilayah tersebut, maka dapat dilakukan analisa regresi terhadap hasil perhitungan indeks yang telah dilakukan. Dalam hal ini, hasil perhitungan indeks sebagai dependent variable (factor yang diterangkan) dan beberapa variable tertentu sebagai independent variable (factor yang menerangkan). Mengikuti Hipotesa Neo-Klasik, variable yang dapat digunakan sebagai independent variable adalah pendapatan perkapita yang menunjukan tingkat pembangunan suatu Negara. Sedangkan persamaan yang digunakan adalah dalam bentuk kuadratik karena hubungan antara ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan tingkat pembangunan suatu Negara adalah bersifat Non Linear. Dengan demikian fungsi regresi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:


Vw = φ YcδYc2 (5.3)



Dimana Vw adalah Indeks Williamson, Yc PDRB perkapita, sedangkan φ dan δ adalah koefisien refresi. Persamaan ini dapat diregresi melalui persamaan logaritma berganda berikut ini :


Log Vw = log φ+δ logYc + 2 log Yc + ε (5.4)



Dimana ε adalah factor kesalahan (disturbance term). Keuntungan penggunaan persamaan bersifat kuadratik adalah dapat diketahui apakah ketimpangan pada Negara bersangkutan masih berada pada kondisi meningkat (divergence) atau sudah berada kondisi yang menurun (convergence).


Tidak dapat disangkal bahwa ada beberapa factor lain yang juga menentukan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Berdasarkan analisa Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional dijelaskan bab 4 terdahulu, variable-variabel tersebut antara lain: konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah, mobilitas barang (perdagangan) dan factor produksi antar daerah serta alokasi investasi (pemerintah dan swasta) antar wilayah dan lain-lainnya. Bahkan kebijakan yang salah dilakukan oleh suatu daerah dapat pula mempengaruhi ketimpangan pembangunan regional.


Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar wilayah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih rendah. Sedangkan konsentrasi kegiatan daerah ekonomi tersebut dapat diukur dengan menggunakan indek Location Quotient (LQ) atau Industrial Concentration Index (ICI). Index LQ dan ICI ini dapat dihitung dengan menggunakan data nilai tambah masing – masing kegiatan ekonomi sebagaimana terdapat pada PDRB masing-masing daerah atau dengan menggunakan data jumlah pekerja (employment) untuk masing-masing sector.


Mobilitas barang (perdagangan) antar daerah jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena, sebagaiman telah ditunjukan oleh Teori Heckers-Ohlin dalam Ilmu Ekonomi Internasional bahwa bila kegiatan perdagangan internasional dan antar wilyah kurang lancar maka proses penyaman harga factor produksi (Factor Price Equalization) akan terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan akan terhambat dan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung menjadi tinggi. Sedangkan alokasi investasi antar wilayah jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena investasi merupakan salah satu factor utama yang menentukan proses pembangunan.


Karena hubungan antar ketimpangan regional dengan tingkat pembangunan ekonomi tidaklah linear, maka persaman regresi dapat pula dilakukan dalam bentuk fungsi Non Linear. Dengan demikian, persaman yang dapat digunakan untuk mengetahui factor penentu ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah sebagai berikut:


Vw = ∅Yβ (LQ Iy (5.5)



Persamaan ini akan dapat dihitung dengan metode regresi setelah dilakukan transformasi dengan menggunakan logaritma sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut:


Log Vw = log θ+β log Yc +σ log (LQ) (5.6)



Dimana Vw adalah Williamson Index, LQ adalah Location Quotiont, M adalah migrasi (dalam persentase), I adalah alokasi investasi (dalam persentase) dan θ, β, σ, δ, dan y adalah koefisien regresi dan ε adalah factor kesalahan (disturbance term).


Cara lain yang dapat pula dilakukan untuk mengetahui factor penyebab terjadinya ketimpangan tersebut adalah dengan menggunakan analisa Shif-share seperti juga yang telah dilakukan oleh Akita dan Alisyahbana (2002). Menggunakan cara ini akan dapat diketahui apakah penyebab ketimpangan tersebut berasal dari luar daerah (Regional-share) atau dari dalam daerah sendiri (Proportionality Shift dan Differential Shift). Dengan demikian akan dapat pula diketahui factor yang menetukan ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan menggunakan ketiga unsure Shift-share tersebut.


5.3 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia

Munculnya studi Williamson (1965), telah mendorong pula beberapa ahli untuk melakukan studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Studi pertama dilakukan oleh Hendra Esmara (1975) yang menggunakan Williamson Index sebagai ukuran ketimpangan antar wilayah. Untuk mempertajam analisa, kalkulisasi indeks ketimpangan disni dibedakan antara PDRB termasuk dan diluar minyak dan gas alam. Namun demikian, karena ketersediaan data tentang Pendapatan Regional di Indonesia pada saat itu masih sangat terbatas, maka jangka pembahasan pada analisa juga masih terbatas sehingga generalisasi untuk mendapatkan kesimpulan umum masih sulit dilakukan. Kemudian studi ini dilanjutkan oleh Uppal, J.S and Budiono Sri Handoko (1986) menggunakan cara yang sama dan seri data yang lebih panjang. Pada kedua studi ini, ketimpangan yang dimaksud adalah antar provinsi.


Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua studi ini adalah bahwa ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan Negara maju. Bahkan diantara sesame Negara berkembang, ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia termasuk yang lebih tinggi. Kenyataan ini adalah sejalan dengan Hipotesa Neo-Klasik yang diuraikan terdahulu. Disamping itu, terlihat pula bahwa indek ketimpangan tersebut cenderung meningkat antar waktu yang menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia masih belum mencapai puncaknya. Peningkatan ketimpangan ini membawa implikasi negative dan cenderung mendorong timbulnya kecemburuan social daerah terbelakang terhadap daerah maju yang dapat menimbulkan dampak politisi bila tidak diatasi segera mungkin.


Studi lainnya yang membahas ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia adalah Sjarizal (2002) untuk periode 1993-2000. Disamping mengukur tingkat ketimpangan dan tendensinya, studi ini juga mencoba melihat pengaruh ibukota Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah. Untuk keperluan ini, maka indeks ketimpangan diukur baik menggunakan data termasuk DKI Jakarta dan diluar DKI Jakarta. Temuan yang menarik dari studi ini adalah bahwa pengaruh ibukota Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar karena strukur ekonomi kota yang sangat berbeda dibandingkan dengan provinsi. Namun demikian, hasil perhitungan dengan mengeluarkan DKI Jakarta ternyata indeks ketimpangan tersebut masih juga cukup tinggi yaitu sekitar 0,50 dibandingkan Negara lain juga mempunyai tendensi yang terus meningkat antar waktu sebagaimana ditemukan terdahulu. Dengan demikian terlihat bahwa perhitungan indeks ketimpangan dengan mengeluarkan DKI Jakarta ternyata lebih tepat karena perbedaan struktur perekonomian daerah.


Table 5.1 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia 1995 - 2003*


Tahun

Termasuk DKI

Jakarta

Diluar DKI

Jakarta

1993

0,56

0,44

1994

0,59

0,46

1995

0,63

0,48

1996

0,67

0,49

1997

0,69

0,51

1998

0,66

0,52

1999

0,67

0,53

2000

0,66

0,52

2001

0,65

0.51

2002

0,65

0,51

2003

0,64

0,50



Catatan: Dihitung dengan menggunakan formula Willamson Index


Perlu diingat disini bahwa sebagaimana diungkapkan dalam studi Wiliamson bahwa indeks ini sensitive terhadap ukuran wilayah yang digunakan. Ini berarti bahwa bila ukuran wilayah yang digunakan berbeda, maka hal ini akan brpengaruh pada hasil perhitungan indeks ketimpangan. Dengan demikian, analisa perlu dilakukan secara hati – hati bila pembahasan menyangkut dengan indeks ketimpangan antar Negara dimana ukuran wilayahnya akan berbeda satu sama lainnya.


Gambaran lain dari ketimpangan pembangunan antara wilayah di Indonesia diberikan pada studi Akita dan Alisyahbana (2000) dengan menggunakan Theil Index sebagai alat ukur ketimbangan pembangunan antar wilayah. Hal ini menarik pada studi ini adalah, disamping menggunakan ukuran yang berbeda, secara sekaligus dilakukan perhitungan ketimpangan dalam masing-masing wilayah dengan menggunakan metode dekomposisi. Dengan demikian akan dapat diketahui secara sekaligus ketimpangan pembangunan antara propinsi dan antar kabupaten di Indonesia sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.2. Mengingat ketimpangan pembangunan pada tingkat propinsi berkaitan langsung dengan ketimpangan pada tingkat kabupaten dan kota, maka pengukuran ketimpangan dengan menggunakan Theil Index ini sangat penting artinya dalam pengambilan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut.


Tabel 5.2 Ketimpangan Pembangunan Antar Propinsi dan Antar Kabupaten di Indonesia 1993-1998


No.

Propinsi, kabupaten dan kota

1993

1994

1995

1996

1997

1998

I
Sumatera
0,024
0,025
0,025
0,028
0,031
0,032


Di Aceh
0,019
0,019
0,019
0,019
0,020
0,018


Sumatera Utara
0,043
0,042
0,038
0,037
0,038
0,034


Sumatera Barat
0,082
0,084
0,090
0,087
0,088
0,111


Riau
0,225
0,240
0,257
0,274
0,299
0,303


Jambi
0,033
0,033
0,036
0,037
0,037
0,036


Sumatera Salatan
0,032
0,033
0,034
0,034
0,036
0,031


Bengkulu
0,016
0,16
0,015
0,014
0,019
0,016


Lampung
0,066
0,065
0,074
0,060
0,065
0,048

II
Jawa-Bali
0,172
0,171
0,170
0,169
0,0167
0,146


DKI Jakarta
0,074
0,079
0,084
0,089
0,090
0,118


Jawa Barat
0,083
0,088
0,098
0,101
0,115
0,101


Jawa Tengah
0,161
0,172
0,0178
0,186
0,187
0166


DI Yokyakarta
0,059
0,059
0,062
0,064
0,069
0,068


Jawa Timur
0,311
0,326
0,343
0,358
0,337
0,365


Bali
0,097
0,097
0,097
0,097
0,097
0,090

III
Kalimantan
0,066
0,065
0,069
0,070
0,069
0,076


Kalimantan Barat
0,110
0,109
0,107
0,105
0,105
0,103


Kalimantan Tengah
0,033
0,033
0,036
0,038
0,039
0,039


Kalimantan Selatan
0,066
0,064
0,060
0,054
0,058
0,069


Kalimantan Timur
0,025
0,022
0,021
0,026
0,024
0,027

IV
Sulawesi
0,002
0,003
0,004
0,006
0,006
0,008


Sulawesi Utara
0,038
0,038
0,037
0,038
0,041
0,046


Sulawesi Tengah
0,002
0,001
0,001
0,001
0,001
0,002


Sulawesi Tenggara
0,068
0,071
0,071
0,072
0,077
0,070


Sulawesi Selatan
0,011
0,010
0,015
0,011
0,013
0,017

V
Pulau Lainnya
0,059
0,055
0,052
0,049
0,059
0,056


Nusa Tenggara Barat
0,022
0,023
0,023
0,023
0,024
0,025


Nusa Tenggara Timur
0,047
0,050
0,058
0,063
0,060
0,056


Timor Timur
0,079
0,081
0,081
0,077
0,083
0,073


Maluku
0,041
0,046
0,051
0,055
0,063
0,062


Irian Jaya
0.112
0,111
0,109
0,106
0,141
0,136

VI
Tendensi Umum














Dalam Propinsi
0,119
0,125
0,131
0,136
0,143
0,141


Antar Propinsi
0,125
0,125
0,125
0,124
0,124
0,108


Dalam Kab/Kota
0,018
0,019
0,020
0,021
0,021
0,018


Total
0,262
0,269
0,276
0,281
0,287
0,266

Catatan: Dihitung dengan menggunakan formula Theil Index


5.4 Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Selanjutnya, pada bagian ini, perlu pula dibahas beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah tersebut. Dengan adanya analisa ini, akan dapat dijelaskan secara empirik unsur penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah tersebut. Disamping itu, analisa ini juga sangat penting artinya karena hasilnya dapat memberikan informasi penting untuk pengambilan keputusan dalam melakukan perumusan kebijakan untuk menanggulangi atau mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah tersebut.



  1. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam

Penyebab utama yang mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing daerah. Sebagiamana diketahui bahwa perbedaan kandungan sumberdaya alam ini di Indonesia ternyata cukup besar. Ada daerah yang mempunyai minyak dan gas alam, tetapi daerah lain tidak mempunyai. Ada daerah yang mempunyai deposit batubara yang cukup besar, tapi daerah lain tidak ada. Demikian pula halnya dengan tingkat kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah.


Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumberdaya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam akan lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan kandungan sumberdaya alam ini dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah yang lebih tinggi pada suatu negara.

  1. Perbedaan Kondisi Demografis

Faktor utama lainnya yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayahadalah bilamana terdapat perbedaan kondisi demografis yang cukup besar antar daerah. Kondisi demografis yang dimaksudkan disini meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimliki masyarakat daerah bersangkutan.


Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mepunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografisnya kurang baik maka hal ini akan meneybabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangktan akan menjadi lebih rendah.

  1. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Kurang lancanya mobilits barang dan jasa dapat pula mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrsi spontan. Alasannya adalah karena bila mobillitas tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi atau daerah tidak dapat dijual kedaerah lainyang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrsi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkan. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelibahan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lian yang membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi pada negara sedang berkembang dimana mobilitas barang dan jasa kurang lancar dan masih terdapatnya beberapa daerah yang terisolir.

  1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yag cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daeerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula sebaliknya bilamana, konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadi pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat.


Konsentrasikegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena terdapatnya sumberdaya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, misalnya minyak bumi, gas, batubara dan bahan mineral lainnya. Disamping itu terdapat lahan yang subur juga turut mempengaruhi, khusunyamenyangkut dengan pertumbuhan kegiatan pertanian. Kedua, meratanya fasilitas transportasi, baik darat, laut dan udara, juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomiantar daerah. Ketga, kondisi demografis (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karenakegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumberdaya manusia tersediadengan kualitas yang lebih baik.

  1. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

Tidak dapat disangka bahwa investasi merupakan salah satu yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat alokasi investasi yang lebih besar dari pemetintah, atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Kondisi ini tentunya akan dapat pula mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi bilamana investasi pemerintah dan swasta yang masuk kesuatu daerah ternyarta lebih rendah.


Alokasi investasi pemerintah kedaerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintah daerah yang dianut. Bila sistem pemerintah daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi. Akan tetapi, sebaliknya bilamana sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak di alokasikan ke daerah seingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah.


Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak ditentukan oleh kekeuatan pasar. Dalam hal ini kekeuatan yang berperan banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam hal ini kekeuatan yang berperan banyak dalam menarik investasi swsta kesuatu daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah. Sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan pula oleh ongkos transfor baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar,tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Termasuk kedalam keuntungan lokasi ini adalah keuntungan aglomerasi yang timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi terkait pada suatu daerah tertentu. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana invetasi cenderung lebih banyak terkonsentrasi didaerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Kondisi ini menyebabkan daerah perkotaan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dari daerah pedesaan.


5.6 Penangulangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Kebijakan dan upaya untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan wilayah sangat ditentukan oleh faktor yang menentukan terjadinya ketimpangan tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 5.5 terdahulu. Oleh karena itu, pembahasan pada bagian 5.6 dikaitkan dengan pembahasan yang dilakukan pada bagian 5.5. Kebijakan yang dimaksudkan disini adalah merupakan upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah.





  1. Penyebaran Pembangunan Prasarana Perhubungan

Sebagaimana ttelah dibahas terdahulu bahwa salah satu penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah karena adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam yang cukup besar antar daerah. Sementara itu, ketidak lancaran proses perdagangan dan mobilitas faktor produksi antar daerah juga turut mendorong terjadinya ketimpangan wilayah tersebut. Karena itu, kebijakan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan tersebut adalah dengan mempelancar mobilitas barang dan faktor produksi antar daerah.


Upaya utuk mendorong kelancaran mobilitas barangdan faktor produksi antar daerah dapat dilakukan melalui penyebaran pembangunan prasarana dan sarana perhubungan keseluruh pelosok wilayah. Prasarana perhubungan yang dimaksudkan disini adalah fasilitas jalan, terminal dan pelabuhan laut guna mendorong proses perdagangan antar daerah. Sejalan dengan hal tersebut jaringan dan fasilitas telokomunikasi juga sangat penting untuk dikembangkan agar tidak ada daerah yang terisolir dan tidak dapat berkomunikasi dengan daerah lainnya. Disamping itu pemerintah perlu pula mendorong berkembangnya sarana perhubungan seperti perusahaan angkutan antar daerah dan fasilitas telekomunikasi. Bila hal ini dapat dilakukan, maka ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi karena usaha perdagangan dan mobilitas faktor produksi, khususnya investasi akan dapat lebih diperlancar. Dengan cara demikian, daerah yang kurang maju akan dapat pula meningkatkan kegiatan perdagangan dan investasi didaerahnya, sehingga kegiatan produksi dan penyediaan lapangan kerja akan dapat pula ditingkatkan. Semua ini akan mendorong proses pembangunan pada daerah yang kurang maju.

  1. Mendorong Transmigrasi dan Migrasi Spontan

Untuk mengurangi kepentingan pembangun antar wilayah, kebijakan dan upaya lain yang dapat dilakukan adalah mendorong pelaksanaan transmigrasi dan migrasi spontan. Transmigrasi adalah pemindahan penduduk ke daerah kurang berkembang dengan menggunakan fasilitas dan dukungan pemerintah. Sedangkan migrasi spontan adalah perpindahan penduduk yang dilakukan secara sukarela menggunakan biaya sendiri. Melalui proses transmigrasi dan migrasi spontan ini, kekurangan tenaga kerja yang dialami oleh daerah terbelakang akan dapat pula diatasi sehingga prosees pembangunan daerah bersangutan akan dapat pula digerakan.


Indonesia sudah sejak lama melakukan proses transmigrasi ini untuk mencapai dua tujuan secara sekaligus. Pertama, program transmigrasi ini dilakukan untuk dapat mengurangi kepadatan penduduk yang terdapat di pulau Jawa yang telah memicu peningkatan pengganguran dan kemiskinan. Kedua, program transmigrasi tersebut juga dilakukan dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah terbelakang yang menjadi tujuan transmigrasi sehingga lahan yang luas tetapi belum dapat dimanfaatkan karena keterbatasan tenaga kerja akan dapat diatasi. Dengan dipergerakannya kegiatan pertanian melalui pemanfaatan tenaga transmigran tersebut, maka kegiatan ekonomi pada daerah terbelakang tujuan transmigrasi akan dapat ditingkatkan sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi.

  1. Pengembangan Pusat Pertumbuhan

Kebijakan lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah melalui pengembangan pusat pertumbuhan (Growth Poles) secara tersebar. Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena pusat pertumbuhan tersebut menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi secara sekaligus. Aspek konsentrasi diperluka agar penyebaran kegiatan pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan masih terus mempertahankan tingkat efesiensi usaha yang sangat diperlukan untuk mengembangkan usaha tersebut. Sedangkan aspek desentralisasi diperlukan agar penyebaran kegiatan pembangunan antar daerah dapat dilakukan sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi.

Penerapan konsep pusat pertumbuhan ini untuk mendorong proses pembangunan daerah dan sekaligus untuk dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan pada kota-kota skala kecil dan menengah. Dengan cara demikian, kota-kota skala kecil dan menengah akan berkembang sehingga kegiatan pembangunan akan lebih disebarkan ke pelosok daerah. Sedangkan upaya untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah melalui peningkatan pembangunan daerah pedesaan ternyata sering gagal dilakukan karena hal ini tidak dapat mempertahankan efesiensi karena lokasinya yang sangat terpencar. Disamping itu, pemilihan lokasi kegiatan ekonomi di daerah pedesaan juga seringkali tidak memenuhi persyaratan ekonomi dari segi analisa keuntungan lokasi yang dapat mendukung pengembangan usaha bersangkutan.

  1. Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan juga dapat digunakan untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hal ini jelas, karena dengan dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktifitas pembangunan daerah, termasuk daerah terbelakang akan dapat lebih digerakan karena ada wewenang yang berada pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya kewenangan tersebut, maka berbagai inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan dapat lebih digerakan. Bila hal ini dapat dilakukan, maka proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat pula dikurangi.


Pemerintah indonsia telah melakukan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan mulai tahun 2001 yang lalu. Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola kegiatan pembangunan didaerahnya masing-masing (desentralisasi pembangunan). Sejalan dengan hal tersebut, masing-masing darah juga diberikan tambahan alokasi dana yang diberikan dalam bentuk “Block Grant” berupa dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumberdaya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dengan cara demikian diharapkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan akan dapat berjalan dengan baik sehingga proses pembangunan daerah dapat ditingkatkan dan ketimpangan pembangunan antar wilayah secara bertahap akan dapat dikurangi.


Sumber : Ekonomi regional 1 (teori dan Aplikasinya). Prof. Sjafrijal.

10 komentar:

  1. Terimakasih atas makalahnya, ini sangat membantu dan bermanfaat
    kesimpulan dan saran belum ada

  2. ya sama - sama, saya senang jika makalah ini bisa membantu

    :)

  3. terimakasih ka, ijin copas yah.. :)

  4. ada ga kebijakan kebijakan dari pemerintah dari ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut.. mkasih

  5. mohon ijin untuk di kopas untuk bahan bacaan

  6. ya silahkan :)

  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
  8. terimakasih, artikelnya sangat membantu...

  9. alhamdulillah kalau bermanfaat :)

  10. mohon tulis referensinya .

Posting Komentar