skip to main | skip to sidebar

Featured Post 3

Sabtu, 11 April 2015

makalah ekonomi

0 komentar


“KARTEL DAN KOLUSI”
Diajukan untuk memenuhi satu syarat mata kuliah Ekonomi Industri














Nama : FuktiatunNadiroh
NIM : 5553102561
Kelas : V-G



JURUSAN ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG - BANTEN
2012


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal.
Berdasarkan definisi ini, satu entitas bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya. Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, dimana terdapat sejumlah kecil penjual. Beberapa contoh kasus kartel di Indonesia adalah kartel terhadap garam, minyak goreng, SMS, Kedelai, dll.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah).
Kartel berawal dari terbentuknya organisasi atau asosiasi oleh kalangan pengusaha dapat menjadi cikal bakal terbentuknya kartel. Ia bahkan memperkirakan, saat ini hampir semua lini usaha di Indonesia melakukan praktik terlarang ini. Terutama yang dinaungi organisasi atau asosiasi. Berdasarkan Data KPPU, sejak berdirinya institusi tersebut sudah memutus perkara persaingan tidak sehat sebanyak 205 perkara.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kartel dan Kolusi
Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal.
Berdasarkan definisi ini, satu entitas bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya.
Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, dimana terdapat sejumlah kecil penjual. Beberapa contoh kasus kartel di Indonesia adalah kartel terhadap garam, minyak goreng, SMS, Kedelai, dll.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
• Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu. Biasanya, imbalannya adalah perusahaan tersebut kembali ditunjuk untuk proyek berikutnya.
• Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung. Broker di sini biasanya adalah orang yang memiliki jabatan atau kerabatnya.
Kartel dan bentuk-bentuk kolusi lainnya cenderung terhambat karena :
• Keadaan yang mendorong setiap perusahaan untuk menjual lebih murah,
• Perusahaan-perusahaan mungkin mempunyai struktur-struktur biaya berbeda yang menyebabkan kesukaran untuk beberapa perusahaan,
• Resesi memberikan ketegangan tambahan terhadap perusahaan-perusahaan,
• Perusahaan-perusahaan baru yang memasuki pasar tidak tahan memikul perjanjian,
• Ketika banyak perusahaan bergabung, maka disiplin menjadi sukar.
Oligopoli merupakan suatu bentuk organisasi pasar dimana penjual atas sebuah produk yang homogen (oligopoly murni) atau produk yang terdiferensial (oligopoly terdiferesial) jumlahnya sedikit. Bentuk organisasi pasar oligopoly paling banyak terjadi di Negara industri seperti Amerika Serikat.
Contohnya untuk produk homogen adalah aluminium dasar dan baja, untuk produk terdiferensial contohnya mobil, sereal, rokok dan sabun. Oligopolis biasanya memilih untuk bersaing dalam hal diferensial produk, iklan dan pemberian layanan (sering disebut nonprice competition).
Ciri istimewa Oligopoli adalah saling ketergantungan atau persaingan antara berbagai perusahaan dalam industri yang merupakan akibat alamiah karena sedikitnya jumlah perusahaan.


Sumber terjadinya oligopoli umumnya sama dengan sumber terjadinya monopoli, yaitu :
1. Skala ekonomi yang bisa dicapai jika jumlah outputnya cukup besar.
2. Kebutuhan Investasi modal yang besar dan input yang terspesialisasi untuk dapat masuk ke industri yang oligopolistik.
3. Adanya hak paten pada perusahaan
4. Brands pada perusahaan dengan pelanggan setianya
5. Kebijakan pemerintah yang memberikan hak monopoli bagi perusahaan tertentu.
KARAKTERISTIK OLIGOPOLI
Bentuk pasar oligopoli dikarakterisasikan berdasarkan:
ü Sejumlah besar perusahaan-perusahaan dominan, dengan beberapa yang kecil lainnya,
ü Suatu produk yang distandarisasikan maupun dibedakan,
ü Kekuatan dari perusahaan-perusahaan dominan terhadap harga, namun ketakutan akan pembalasan,
ü Hambatan-hambatan secara teknologi dan ekonomi untuk menjadi suatu perusahaan yang dominan,
ü Penggunaan persaingan non harga yang ekstensif akibat ketakutan akan perang harga.
Model-model Oligopoli :
1. Model Cournot, bermanfaat dalam oligopoli di antara perusahaan yang saling bergantung sangat erat.
2. Model Bertrand, merupakan model perang harga yang terjadi dalam persaingan perusahaan dengan produk yang homogen.
3. Model Kurva Permintaan Terpatah, merupakan konsep dimana bila seorang goligopolis yang tidak berkolusi menaikkan harga produk, dia akan kehilangan hampir seluruh pelanggannya karena perusahaan lain tidak ikut menaikkan harga.
4. Kesepakatan Kartel. Adalah kolusi yang terjadi antara perusahaan yang bersifat jelas dan eksplisit dimana ada dua jenis kartel yaitu Market-sharing Cartel dan Centralized Cartel
Kepemimpinan Harga. Adalah kolusi yang terjadi antara perusahaan yang bersifat tidak jelas dan implisit.
Jadi secara garis besar, Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.
Cara pencegahannya perusahaan (atau negara) membuat perjanjian kerjasama yang sehat dengan perusahaan (atau negara) lain yang dianggap tidak merugikan orang banyak untuk mencegah kolusi. Praktik kartel ada di setiap negara, tidak kecuali Indonesia. Praktik seperti ini biasanya dilakukan dengan membentuk harga demi meraup untung sebanyak-banyaknya.Yang dirugikan, tentu saja konsumen. Sayangnya, perangkat hukum yang ada di Indonesia belum mampu membendung, apalagi mengatasi kasus ini.
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), maraknya praktik kartel di Indonesia diakibatkan oleh hukuman berupa denda yang relative rendah, hanya Rp25 miliar, sementara keuntungan yang diperoleh dapat mencapai angka triliunan rupiah. Tak heran jika banyak perusahaan atau pengusaha di Indonesia yang berani melakukan praktik haram ini.\
Seperti dilansir detik.com pada awal Agustus 2012 silam, Ketua KPPU Tajuddin Noer Said menjelaskan, UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat seharusnya segera dirubah, sehingga jika ada perbuatan kartel di dalamnya, perusahaan yang melakukan praktik ini dapat dihukum lebih berat, tak hanya didenda maksimal Rp 25 miliar.
2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kartel dan Kolusi
Ada dua faktor yang digunakan oleh KPPU untuk mengidentifikasi indikator awal suatu kartel, yaitu faktor struktural dan faktor perilaku.
a. Faktor structural.
Dalam faktor ini akan diukur beberapa hal, antara lain:
• Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan. Kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak banyak. Indikator tingkat rasio konsentrasi perusahaan adalah persentase dari total pangsa pasar yang dimiliki oleh perusahaan. Persentase ini menunjukan posisi perusahaan dalam berkompetisi dengan perusahaan lain pada pasar bersangkutan.
Pemusatan kekuatan ekonomi atau kosentrasi pasar menunjukan adanya pertumbuhan perusahaan dalam skala besar, dan terjadinya penurunan tingkat kompetisi pada pasar bersangkutan. Mengukur konsentrasi pasar dapat menggunakan pendekatan Herfindahl-Hirschman Index atau HHI. HHI atau dikenal dengan Herfindahl Index merupakan alat yang digunakan untuk mengukur hubungan antara pelaku usaha dengan industri dan merupakan indikator dari besarnya persaingan antara pelaku usaha.
Penurunan pada indeks Herfindahl paa umumnya menunjukan adanya pengurangan dalam kekuatan monopoli dalam menentukan harga di pasar dan peningkatan persaingan yang cukup baik.
Sebaliknya, jika angka indeks menunjukkan kenaikan maka artinya terdapat konsentrasi yang tinggi di satu tangan pelaku usaha. Indek HHI bersifat manipulatif karena terlalu luas atau terlalu sempit dalam menentukan pasar bersangkutan.

• Ukuran Perusahaan. Kartel terbentuk jika pelopornya adalah beberapa perusahaan dengan ukuran yang setara. Hal ini akan memudahkan pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan tidak jauh berbeda.
• Homogenitas produk. Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi konsumen terhadap seluruh produk menjadi tidak jauh berbeda. Ini menyebabkan persaingan harga sebagai satu-satunya variabel persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para pelaku usaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat untuk menghindari perang harga yang dapat menurunkan tingkat keuntungan para pelaku usaha tersebut.
• Kontak multi-pasar. Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga memiliki tujuan pasar yang luas. Kontak yang dilakukan berkali-kali dapat mendorong pelaku usaha yang seharusnya bersaing justru melakukan kolaborasi dengan cara alokasi wilayah ataupun harga.
• Persediaan dan kapasitas produksi. Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan penawaran. Data akan persediaan dan kapasitas produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengidentifikasi kartel.
• Keterkaitan kepemilikan. Keterkaitan kepemilikan baik minoritas maupun mayoritas mendorong pelaku usaha untuk memaksimalkan keuntungan melalui harmonisasi perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang untuk memperkuat kartel dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan.
• Kemudahan untuk masuk pasar. Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan kartel. Pendatang baru akan sangat kesulitan untuk mengisi kekosongan pasar akibat harga kartel yang tinggi
• Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas, & perubahan. Permintaan yang teratur dan inelastisitas dengan pertumbuhan yang stabil akan memberikan jalan terbentuknya kartel. Ini karena pelaku usaha akan sangat mudah memprediksi dan menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan para pelaku kartel tersebut.dalam hal ini KPPU mengukur karakter permintaan melalui survey maupun penelitian pasar.
• Kekuatan tawar pembeli (buyer power). Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan dapat melemahkan kartel, bahkan membubarkannya. Dengan posisi yang demikian, pembeli akan mudah mencari penjual yang mau memasok barang dengan harga terendah. Ini mendorong penjual untuk tidak mematuhi harga kesepakatan kartel, yang menyebabkan kartel tidak akan berjalan secara efektif dan bubar dengan sendirinya.

b. Faktor Perilaku.
• Transparansi dan Pertukaran Informasi. Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran informasi dan transparansi di antara mereka. Peranan asosiasi sangat kuat karena merupakan media pertukaran informasi tersebut.data produksi dan harga jual secara periodik dikirimkan ke asosiasi sebagai upaya kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Pertukaran ini dapat dilakukan tanpa asosiasi, yang justru semakin mencurigakan karena sesama pelaku usaha pesaing saling memberikan informasi harga dan data produksi.
• Peraturan harga dan Kontrak. Perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat adanya kartel di suatu industri. Kebijakan one price policy merupakan alat kontrol yang efeketif antar anggota kartel terhadap kesepakatan harga kartel.

2.3 Perbandingan Pembuktian Kartel di Beberapa Negara.
Amerika merupakan salah satu negara di mana kartel dikategorikan sebagai per se illegal. Evaluasinya difokuskan pada eksistensi perjanjian. Pendekatan ini tidak membutuhkan adanya dampak dari kartel pada persaingan. Perjanjian kartel, dianggap ilegal tanpa harus mengetahui dampaknya pada persaingan.
Selain itu, dengan menggunakan analisis per se, perusahaan tidak berkewajiban untuk menunjukan perlunya perbuatan kartel. Pendekatan per se ini dianggap lebih memberikan kepastian hukum. Akan tetapi, sangat sulit untuk mendapatkan direct evidence seperti perjanjian, baik tertulis maupun tidak tertulis. Oleh karena itu digunakan indirect evidence pada beberapa kasus.
Berikut ini adalah beberapa contoh negara yang menggunakan indirect evidence selain direct evidence.
1. Kasus Steel Cartel (Brazil).
Dalam kasus tersebut, Brazil’s Council for Economic Defence (CADE) menemukan adanya kartel tanpa adanya bukti langsung bahwa perusahaan melakukan koordinasi untuk menaikkan harga. Pada kasus ini CADE menyatakan bahwa perilaku kartel dapat dibuktikan hanya berdasarkan bukti ekonomi, ketika tidak ditemukan adanya penjelasan rasional.
Kenyataannya, CADE memutuskan para pihak dinyatakan bersalah berdasarkan price parallelism dan faktor-faktor lainnya seperti penggunaan bukti pertemuan diantara perusahaan tersebut untuk membicarakan permasalahan diantara mereka sebelum permasalahan tersebut disampaikan kepada Pemerintah.
2. Kasus Sao Paulo Airlines (Brazil).
Pada kasus ini, investigasi yang dilakukan menyimpulkan adanya price parallelism dan juga adanya pertukaran informasi diantara perusahaan pesaing melalui sistem komputerisasi pencatatan harga yang dilakukan oleh perusahaan yang mempublikasikan tarif pesawat (ATPCO).
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh CADE terdapat 3 (tiga) faktor yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut melakukan penetapan harga yaitu price parallelism, pertemuan para pemimpin perusahaan, dan adanya media untuk melakukan koordinasi harga.


2.4 Contoh Kasus Kartel dan Kolusi
Kartel Terhadap Kedelai
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki adanya dugaan penyalahgunaan posisi dominan dan sistem kartel dalam impor kedelai di Indonesia.
"KPPU akan mengambil hak inisiatifnya yang diatur dalam undang-undang untuk menginvestigasi masalah ini," kata Komisioner KPPU Benny Pasaribu, Rabu (1/8/2012).
Benny mengatakan, saat ini ada dugaan pasar impor kedelai ke Indonesia dikuasai satu pengusaha besar. Hal ini menyebabkan pengusaha besar itu mengatur harga dan pengusaha kecil lainnya hanya mengikuti harga tersebut.
Menurutnya, para pedagang kecil impor kedelai sebenarnya bisa menjual harga dibawah harga sekarang, namun hal itu tidak bisa dilakukan. Di dalam hukum persaingan usaha, katanya, itu bisa diduga melakukan konstelasi kartel.
Dia berpendapat segala bentuk persaingan usaha yang tidak sehat harus dihentikan. "Pasar kedelai ini sangat tidak sehat, dan sangat oligopolistik, ada pemain yang dominan di sana," ujarnya. Benny mengakui bahwa harga kedelai mengalami kenaikkan di Amerika Serikat karena kekeringan.
Dia mencontohkan dari Januari hingga Juli kenaikannya hanya 30% dari harga normal di pasar internasional. Namun dia terkejut ketika di Indonesia kenaikan harganya bisa mencapai 60%. Dia menduga ada bentuk kartel dalam praktek impor kedelai berdasarkan data kenaikan harga yang tidak wajar itu.
Benny menyarankan pemerintah seharusnya memiliki regulasi khusus yang mengatur mengenai impor kedelai. Hal ini untuk menghindari ketidak stabilan harga kedelai jika pemerintah mengambil kebijakan impor. Dia juga tidak setuju jika impor kedelai diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta.
Pemerintah diminta untuk mengintervensi, karena kalau terlalu banyak swasta belum tentu bisa efisien dan harganya stabil bahkan cenderung memainkan harga. "Harus kombinasi, ada penyeimbang antara BUMN, koperasi dan swasta dalam impor kedelai. Jika 100 persen diberikan pada swasta, maka pemerintah akan kewalahan untuk pengawasan dan pengendalian harga," kata Benny.
Krisis kedelai yang dipicu gejolak harga kedelai di dalam negeri, dipastikan tidak lepas dari praktek kartel di distributor kedelai. Namun, praktek ini diakui sulit dibuktikan. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Tajoeddin Noer menuturkan, negara harus melakukan intervensi untuk mengamankan harga kedelai yang saat ini melambung tinggi. "Akan sangat susah KPPU untuk membuktikan ada kartel di produsen. Tapi saya berani mengatakan ada kartel di distributor," kata dia di Gedung KPPU.
Dalam isu kedelai, yang memainkan peran lebih besar dalam menentukan harga adalah penjual daripada produsen. "Sejak kita menganut liberalisasi setelah tahun 1998 kelihatan sekali yang lebih berperan adalah penjual daripada produsen," paparnya.
KPPU tidak melihat kasus kedelai ini karena pengaruh harga kedelai di pasar internasional saja."Kita melihat apakah memang sekarang ini kita menganut mekanisme pasar liberalisasi yang membuat negara tidak boleh intervensi," tambahnya.
Dia juga menambahkan, untuk menyelesaikan polemik harga kedelai saat ini harus ada upaya politik, di luar berbagai langkah untuk meningkatkan produksi kedelai nasional. "Kalau pemerintah benar-benar intervensi maka pemerintah benar-benar menyelamatkan perekonomian nasional," tambahnya.
Sedangkan dari pihak pedagang mengaku bahwa tidak terjadi kartel kedelai disini. Direktur Perdagangan Dalam Negeri, Gunaryo, membantah terjadinya kartel serta monopoli importir kedelai. Ia menyatakan semua importir kedelai diperlakukan sama sesuai aturan yang berlaku. Menurut Gunaryo, dalam praktek importasi kedelai, semua perusahaan mesti memiliki NPIK masing-masing. Aturan inilah yang membolehkan bisa tidaknya sebuah perusahaan melakukan impor kedelai.
Namun seiring ketatnya aturan regulasi barang dari Amerika, khususnya soal volume pesanan, maka hanya perusahaan tertentu dengan jumlah besar yang bisa melakukan impor barang dari negara paman sam tersebut, jumlah kecil mereka enggan melayani. Gunaryo mencontohkan Cina dengan pesanan hingga 61 juta ton kedelai kerap mendapatkan kiriman yang cepat. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya membutuhkan kiriman sekitar 1,8 juta ton.
Melihat kondisi seperti itu, untuk mengurangi kerugiaan akhirnya pemerintah memberikan kelonggaran kepada asosiasi tempe tahu melakukan importase secara langsung dari Amerika, tidak melalui perusahaan lain.
Namun jika hal itu sulit ditempuh asosiasi, ia mengamini rencana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk membuat lembaga buffer stock kedelai. Beberapa kalangan bahkan sempat menyebutkan Bulog untuk ikut serta sebagai penyangga bahan dasar makanan tradisional Indonesia itu.
Alasannya, selain mampu menekan harga, Bulog dinilai berpengalaman dalam menjaga stabilitas dan pasokan beras nasional. Ketua KPPU, Tadjudin Noer Said, sebelumnya menduga dua ligopol besar kedelai saat ini, yakni PT Gerbang Cahaya Utama dan PT Cargil Indonesia telah melakukan praktek pasar oligopolisitik atau adanya pengaturan pasokan oleh kedua perusahaan tersebut.
Hal itu didasarkan dominannya kedua perusahaan itu dalam pendistribusian kedelai saat ini. Cargil sudah membantah telah melakukan oligopoly. Hingga kini, kebutuhan kedelai dalam negeri mencapai 2,2 ton juta atau naik dari tahun sebelumnya 2,16 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya berkisar di angka 20-30 persen atau sekitar 850 ribu ton dari total kebutuhan.
• Kartel Penetapan Layanan Tarif Short Message Service (SMS)
KPPU berhasil membongkar praktek kartel yang dilakukan enam perusahaan seluler selama 2004-2008 yang menetapkan persekongkolan harga tarif SMS Rp 350/SMS, konsumen dirugikan mencapai Rp 2,827 triliun. Keenam perusahaan operator seluler tersebut diantaranya PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Mobile-8 Telecom Tbk dan PT Smart Telecom yang telah dihukum denda oleh KPPU. Namun hingga sampai saat ini, kerugian konsumen yang mencapai Rp 2,827 triliun belum bisa ditemukan cara pengembalian ganti kerugiannya.
• Kartel Garam
Praktik kartel garam ini berhasil dibongkar KPPU mulai 2005. Garam yang "dimainkan" adalah bahan baku garam yang dipasok di Sumatera Utara. Pelakunya hanya beberapa perusahaan atau pengusaha. Hingga kini KPPU masih melakukan pengawasan ketat agar kartel jenis ini tak terjadi lagi.
• Kartel minyak goreng curah
Berdasarkan Putusan KPPU No 24/KPPU-I/2009 yang ditetapkan pada 4 Mei 2010, diputuskan ada price pararelism harga minyak goreng kemasan dan curah, dimana 20 produsen minyak goreng terlapor selama April-Desember 2008 melakukan kartel harga dan merugikan masyarakat setidak-tidaknya sebesar Rp 1,27 triliun untuk produk migor kemasan bermerek dan Rp 374.3 miliar untuk produk migor curah.
Namun keputusan KPPU tersebut kandas di tangan Mahkamah Agung (MA) yang menolak keputusan KPPU tersebut atas keberatan yang dilakukan 20 produsen minyak goreng yang menjadi terlapor.

• Kartel Obat Hipertensi jenis amplodipine besylate
KPPU menyatakan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica bersalah telah melakukan kartel dengan menghukum setiap anggota kelompok usaha Prizer yang menjadi terlapor membayar denda Rp25 miliar. Sedangkan Dexa Medica dinilai bersalah melakukan kartel penetapan harga dan dihukum membayar denda Rp 20 miliar dan diperintahkan perusahaan farmasi nasional untuk menurunkan harga tensivask sebesar 60% dari harga neto apotek.
• Kartel penetapan harga tiket dalam Fuel Surcharge
Berdasarkan putusan KPPU No.25/KPPU/2010 Tanggal 4 Mei, memutuskan menghukum sembilan maskapai diantaranya PT Sriwijaya, PT Metro Batavia (Batavia Air), PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), PT Wings Abadi Airlines (Wings Air), PT Merpati Nusantara Airlines, PT Travel Express Aviation Service dan PT Mandala Airlines bersalah telah melakukan kartel dengan melakukan kesepakatan harga patokan avtur selama 2006-2009.
Praktek tersebut menyebabkan konsumen merugi hingga Rp 13,8 triliun. KPPU pun menghukum sembilan maskapai dengan ganti rugi total sebesar Rp 586 miliar. Namun Mahkamah Agung menolak keputusan MA atas gugatan keberatan sembilan maskapai atas putusan KPPU tersebut.
Alat Bukti Berdasarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.04 Tahun 2010. Pasal 36 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa KPPU berwenang untuk mencegah dan menindak pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 2010, baik berdasarkan laporan maupun atas inisiatif KPPU sendiri. Untuk membuktikan telah terjadi kartel dalam suatu industri, KPPU harus mendapatkan satu atau lebih alat bukti. Alat bukti untuk penanganan perkara kartel antara lain:
 Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pemagian wilayah pemasaran.
 Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir.
 Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir.
 Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.
 Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta perubahannya.
 Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.
 Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel.
 Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.
 Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor pendorong kartel sesuai indikator terjadinya kartel.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal.
Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah).
Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
ü Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu.
ü Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara lang

Kartel dan bentuk-bentuk kolusi lainnya cenderung terhambat karena :
• Keadaan yang mendorong setiap perusahaan untuk menjual lebih murah,
• Perusahaan-perusahaan mungkin mempunyai struktur-struktur biaya berbeda yang menyebabkan kesukaran untuk beberapa perusahaan,
• Resesi memberikan ketegangan tambahan terhadap perusahaan-perusahaan,
• Perusahaan-perusahaan baru yang memasuki pasar tidak tahan memikul perjanjian,
• Ketika banyak perusahaan bergabung, maka disiplin menjadi sukar.
Perbandingan Pembuktian Kartel di Beberapa Negara.
Amerika merupakan salah satu negara di mana kartel dikategorikan sebagai per se illegal. Evaluasinya difokuskan pada eksistensi perjanjian. Pendekatan ini tidak membutuhkan adanya dampak dari kartel pada persaingan. Perjanjian kartel, dianggap ilegal tanpa harus mengetahui dampaknya pada persaingan.
Selain itu, dengan menggunakan analisis per se, perusahaan tidak berkewajiban untuk menunjukan perlunya perbuatan kartel. Pendekatan per se ini dianggap lebih memberikan kepastian hukum. Akan tetapi, sangat sulit untuk mendapatkan direct evidence seperti perjanjian, baik tertulis maupun tidak tertulis. Oleh karena itu digunakan indirect evidence pada beberapa kasus.
Berikut ini adalah beberapa contoh negara yang menggunakan indirect evidence selain direct evidence.
1. Kasus Steel Cartel (Brazil).
Dalam kasus tersebut, Brazil’s Council for Economic Defence (CADE) menemukan adanya kartel tanpa adanya bukti langsung bahwa perusahaan melakukan koordinasi untuk menaikkan harga. Pada kasus ini CADE menyatakan bahwa perilaku kartel dapat dibuktikan hanya berdasarkan bukti ekonomi, ketika tidak ditemukan adanya penjelasan rasional. Kenyataannya, CADE memutuskan para pihak dinyatakan bersalah berdasarkan price parallelism dan faktor-faktor lainnya seperti penggunaan bukti pertemuan diantara perusahaan tersebut untuk membicarakan permasalahan diantara mereka sebelum permasalahan tersebut disampaikan kepada Pemerintah.


2. Kasus Sao Paulo Airlines (Brazil).
Pada kasus ini, investigasi yang dilakukan menyimpulkan adanya price parallelism dan juga adanya pertukaran informasi diantara perusahaan pesaing melalui sistem komputerisasi pencatatan harga yang dilakukan oleh perusahaan yang mempublikasikan tarif pesawat (ATPCO). Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh CADE terdapat 3 (tiga) faktor yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut melakukan penetapan harga yaitu price parallelism, pertemuan para pemimpin perusahaan, dan adanya media untuk melakukan koordinasi harga.

3.2 Kritik dan Saran

Kritik:
Kartel dapat merugikan masyarakat karena haraga yang ditetapkan ditentukan secara sepihak oleh perusahaan

Saran:
harus adanya transparansi atau keterbukaan antara perusahaan dan pemerintah dalam menentukan hargayang ditetapkan oleh perusahaan dan haraga yang ditetapkan oleh pemerintah





Minggu, 17 Juni 2012

ENGKAULAH WANITA ISTIMEWA

0 komentar
CANTIKNYA SEORANG WANITA ITU ...


Cantiknya seorang wanita itu sebagai GADIS
Bukan kerana merah kilauan lipstik
Pada bibir memekar senyuman kosmetik
Tetapi pada keperibadian terpelihara
Kelembutan kesopanan menghiasi jiwa

Cantiknya seorang wanita itu sebagai REMAJA
Tidak pada kulitnya mulus menggebu terdedah
Untuk menggoda pandangan nafsu mata
Tetapi pada kehidupan terjaga
Dari menjdai mangsa tohmahan dunia

Cantiknya seorang wanita itu sebagai HAWA
Tidak kerana bijak meruntun iman kaum Adam
Sehingga turunkan insan ke dunia
Tetapi menjdi pembakar semangat perwira
Menjadi tunjang perjuangan syuhada

Cantiknya seorang wanita itu sebagai ANAK
Tidak menjerat diri pada lembah kedurhakaan
Mengalir mutiara di kelopak mata
Tetapi menjadi penyelamat ibu bapa
Pada hari kebangkitan bermula

Cantiknya seorang wanita itu sebagai ISTERI
Bukan kerana peneraju kerjaya dalam rumahtangga
Tetapi sentiasa bersama
Menempuh badai disisi suami tercinta

Cantiknya seorang wanita itu sebagai MENANTU
Bukan kerana kemewahan dimata
Tetapi bijak dalam menjauhi persengkolan ipar ramai
Menjadi penghibur hati permata kehidupan

Cantiknya seorang wanita itu sebagai IBU
Bukan terletak pada kebangkitan anak
Dalam setiap pertelingkahan
Tetapi dibawah lembayung kejayaan
Membuai anak dikala suami menjalin impian

Cantiknya seorang wanita itu sebagai MERTUA
Tidak kerana berjaya meruntuh istana
Tetapi jalinan kasih sayang
Tulus hati mengagih kasih setara pada semua

Cantiknya seorang wanita itu sebagai NENEK
Bukan memberi harta dunia
Sehingga generasi lupa
Tetapi menjadi pada pendita
Menjaring teladan para anbia pada anak bangsa

Cantiknya seorang wanita itu sebagai WARGANEGARA
Bukan kerana menyandang puncak dunia
Tetapi bijak menangkis rintangan
Peka membela nasib dan maruah negara
Menjadi tulang belakang keteguhan semua

Cantiknya seorang wanita itu sebagai WARGA TUA
Bukan kerana jernihnya mutiara
Mengalir deras di kelopak mata
Tetapi senantiasa mengumpul cahaya
Menghitung hari dengan selembar nasihat

Cantiknya wanita itu sebagai INTELEKTUALIS
Bukan kerana menjadi sebutan
Sehingga menjulang keegoaan
Tetapi dalam mencari ilmuan
Menyala obor mewangi setanggi profesionalis

Cantiknya wanita itu sebagai MUSLIMAH
Bukan kerana keindahan paras rupa
Sehingga menjadi ingauan mata
Tetapi berpegang Akidah Solehah
Disebalik tirai jiwa
Mengandam rindu kekasih pasrah di atas sejadah
Mengharap keredhaan kehidupan awana...

sumber :iluvislam.com

Cerita ku

3 komentar
Serangkaian rasa yang ku beri tersimpan di dalam pelung hati ku,
kemanapun ku bawa langkah ini wajah mu selalu tertata ditengah bola mata ku dan apapun aktivitas ku mimpi mu selalu datang menghampiri. 
Hari pun berganti namun bayangan mu masih menyelimuti kalbu.
Sungguh ku tak mengerti apa arti semua ini, mungkinkah tersimpan cinta di dalam hati ku ini??
Sehingga ku tak bisa melupakan saat indah bersama mu "walau hanya mimpi" namun semua itu hanyalah khayalan belaka karena sebenarnya dirimu tak bisa ku lihat

Rabu, 13 Juni 2012

Teori Konsumsi Kaldor

0 komentar
Teori Konsumsi dari Kaldor

Sesuai namanya, teori ini dikembangkan oleh seorang ahli ekonomi dari
Universits Cambridge yaitu Nicholas Kaldor. Dengan perkecualian RIH, teoriteori
konsumsi modern umumnya mengkonsentrasikan pada analisis time series
dan memperlakukan distribusi pendapatan dan analisis cross section sebagai
sesuatu yang memang sudah begitu adanya atau sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan.

Kaldor adalah salah seorang ahli ekonomi aliran Post Keynesian, yang
memulai modelnya dengan membagi masyarakat ke dalam dua k elas yaitu kelas
pekerja dan kelas kapitalis. Pekerja diasumsikan mendapat seluruh pendapatan
mereka dari (tenaga) kerja (QW ), Sedangkan kapitalis mendapatkan pendapatan
t
mereka dari kekayaan ( property) (Q ), dimana total pendapatan selanjutnya
t
dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut: Q = QW + Q
Pekerja diasumsikan memiliki suatu APC yang tinggi dari pendapatan tenaga (c ), w
sedangkan kapitalis memiliki APC yang rendah (c). ini berarti bahwa fungsui
konsumsi KH dapat ditulis menjadi: C = c QW + c Q                    (< c < 1 dan c >c
                                                                               t w t n t                 n              w n
pendapatan antara upah dan keuntungan atau distribusi pendapatan fungsional
(functional distribution of income). Lebih lanjut, APC akan mengalami perubahan
yang berkebalikan dengan rasio antara pendapatan laba (profit income) terhadap
total pendapatan sebab C < C w.

Pendapatan merupakan faktor terpenting dan penentu utama (main determination) dari konsumsi.
Namun demikian, konsumsi juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain selain pendapatan seperti selera, faktor sosial kultural, kekayaan,
hutang pemerintah, capital gains , tingkat suku bunga, tingkat harga, kredit, money
illusion , penduduk, distribusi umur, dan lokasi geografis, dan d istribusi
pendapatan.













.Sumber : http://lilisp98.blogspot.com/2011/12/komsumsi-investasi.html,
http://muhamedisel.blogspot.com/2011/07/makro-ekonomi.html,
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_pek_033718_chapter2.pdf

Selasa, 24 April 2012

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH

10 komentar


Nama : Fuktiatun Nadiroh 

Kelas : 4 G Ekonomi Pembangunan

Dosen Pengajar : Umayatul Suiroh. SE 




Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi geografi yang terdapat pada masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (Development Region) dan wilayah terbelakang (Underdevelopment Region). Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.


Analisa pada bab ini dimulai dengan pembahasan tentang Hipotesa Noe-Klasik yang merupakan dasar toritis terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Termasuk dalam analisa ini adalah hasil studi dari Jeffrey G. Williamson yang melakukan pengetesan terhadap kebenaran Neo-Klasik tersebut. Kemudian pembahsan dilanjutkan dengan ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan menggunakan Williamson Index dan ukuran ketimpangan lainnya. Selanjutnya pula dengan pembahasan tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia yang dilanjutkan dengan factor – factor utama yang menentukan ketimpanngan tersebut. Terakhir dilakukan pembahasan tentang beberapa kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menanggulangan ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut.


5.1 Hipotesa Neo-Klasik

Secara teoritis permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah mula – mula dimunculkan oleh Douglas C North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo-Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antar tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu Negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik yang menarik perhatian para ekonom dan perencana pembangunan daerah.


Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur – angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara – negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf U terbalik (Reserve U-shape Curve) sebagaimana telah dijelaskan pada bab 4 terdahulu.


Pertanyaan yang menarik adalah mengapa pada waktu proses pembangunan dilaksanakan di negara sedang berkembang, justru ketimpangan meningkat? Jawabannya adalah karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai di negara sedang berkembang. Kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah – daerah yang kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedangkan daerah – daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan oleh factor ekonomi, tetapi juga oleh factor social-budaya sehingga akibatnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan.


Keadaan yang berbeda terjadi di Negara yang sudah maju dimana kondisi daerahnya ummnya telah dalam kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumberdaya manusia. Disamping itu, hambatan-hambatan social dan budaya dalam proses pembangunan hampir tidak ada sama sekali. Dalam kondisi yang demikian, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya, proses pembangunan pada Negara maju akan cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilyah.


Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Jefrey G. Willamson pada tahun 1996 melalui suatu studi tentang ketimpangan pembnagunan antar wilayah pada negara maju dan Negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross-section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa Hipotesa Neo-Klasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara empiric. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu Negara tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilyah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal sebaliknya.


Fakta empiric ini menunjukan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di Negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh Negara. Bahkan ketika Amerika Serikat mulai melaksanakan proses pembangunan pada abad kedelapan belas dulu, peningkatan ketimpangan pembangunan antar wilayah juga meningkat tajam. Peningkatan ketimpangan ini bahkan sampai memicu terjadinya perang saudara antar Negara bagian di Selatan yang masih relative tertinggal dengan Negara bagian di Utara yang sudah lebih maju. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dengan adanya pemberontakan PRRI-Persemesta di Sumatera Barat tahun 1957, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).


5.2 Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Melihat ketimpangan pembangunan antar wilayah dalam suatu Negara atau suatu daerah bukanlah hal yang mudah karena hal ini dapat menimbulkan debat yang berkepanjangan. Adakalannya masyarakat berpendapat bahwa ketimpangan suatu daerah cukup tinggi setelah melihat banyak kelompok miskin pada daerah bersangkutan. Akan tetapi ada pula masyarakat merasakan adanya ketimpangan yang cukup tinggi setelah melihat adanya segelintir kelompok kaya ditengah-tengah masyarakat yang umumnya masih miskin. Perlu diingat disini bahwa, berbeda dengan distribusi pendapatan yang melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat., ketimpangan pembangunan antar wilayah melihat perbedaan antar wilayah. Hal yang dipersoalkan disini bukan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, tetapi adalah perbedaan antar daerah maju dan daerah terbelakang.


Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula – mula ditemukan adalah Williamson index yang digunakan dalam studinya pada tahun 1966. Secara ilmu Statistik, index ini sebenarnya ad lah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Istilah Williamson Index muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula – mula menggunakan teknik ini untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Walaupun index ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain sensitive terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.


Berbeda dengan Gini Rasio yang lazim digunakan dalam mengukur distribusi pendapatan, Williamson Index menggunakan Produk Domestik Regiona Bruto (PDRB) perkapita sebagai data dasar. Alasannya jelas karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok. Dengan demikian, formulasi Indeks Williamson ini secara statistic dapat ditampilkan sebagai berikut:


Vw = i=1n(yi-y)2(fi/n)y 0<Vw<1 (5.1)



Dimana yi = PDRB perkapita daerah i

y = PDRB perkapita rata – rata seluruh daerah

fi = Jumlah penduduk daerah i

n = Jumlah penduduk seluruh daerah


Subskrip w digunakan karena formulasi yang digunakan adalah secara tertimbang sehingga indeks tersebut dapat dibansingkan dengan Negara atau daerah aslinya. Sedangkan pengertian indeks ini adalah sebagai berikut : bila Vw mendekati 1 berarti sangat timpang dan bila Vw mendekati nol berarti sangat merata.


Indeks lainnya yang juga lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah Theil Index sebagaimana digunakan oleh Akita dan Alisyahbana (2002) dalam studinya yang dilakukan di Indonesia. Sedangkan data yang diperlukan untuk mengukur indeks ini adalah sama dengan yang dipetlukan untuk menghitung Williamson Index yaitu PDRB perkapita untuk setiap wilayah dan jumlah penduduk. Demikian pula halnya dengan penafsirannya yang juga sama yaitu bila indeks mendekati 1 artinya sangat timpang dan sebaliknya bila indeks mendekati 0 yang berarti sangat merata. Sedangkan formulasi Theil Index (Td) adalah sebagai berikut :


Td = i=1nj=1n{yij/Y} log [{yij/Y}/{nij/N}] (5.2)



Dimana : yij = PDRB perkapita kabupaten i di provinsi j

Y = Jumlah PDRB perkapita seluruh privinsi j

n = Jumlah penduduk kabupaten i di provinsi j

N = Jumlah penduduk seluruh kabupaten


Namun demikian, pengguna Theil Index sebagai ukuran ketimpangan mempunyai kelebihan tertentu. Pertama, indeks ini dapat menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan analisa menjadi lebih luas. Dalam kasus Indonesia, dengan menggunakan metode ini dapat dihtung ketimpangan dalam provinsi dan kabupaten/kota serta antar provinsi, kabupaten dan kota. Kedua, dengan menggunakan indeks ini dapat pula dihitung kontribusi (dalam persentase) masing – masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup penting.


Bilamana pembahasan dilanjutkan dengan analisa tentang factor – factor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan wilayah tersebut, maka dapat dilakukan analisa regresi terhadap hasil perhitungan indeks yang telah dilakukan. Dalam hal ini, hasil perhitungan indeks sebagai dependent variable (factor yang diterangkan) dan beberapa variable tertentu sebagai independent variable (factor yang menerangkan). Mengikuti Hipotesa Neo-Klasik, variable yang dapat digunakan sebagai independent variable adalah pendapatan perkapita yang menunjukan tingkat pembangunan suatu Negara. Sedangkan persamaan yang digunakan adalah dalam bentuk kuadratik karena hubungan antara ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan tingkat pembangunan suatu Negara adalah bersifat Non Linear. Dengan demikian fungsi regresi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:


Vw = φ YcδYc2 (5.3)



Dimana Vw adalah Indeks Williamson, Yc PDRB perkapita, sedangkan φ dan δ adalah koefisien refresi. Persamaan ini dapat diregresi melalui persamaan logaritma berganda berikut ini :


Log Vw = log φ+δ logYc + 2 log Yc + ε (5.4)



Dimana ε adalah factor kesalahan (disturbance term). Keuntungan penggunaan persamaan bersifat kuadratik adalah dapat diketahui apakah ketimpangan pada Negara bersangkutan masih berada pada kondisi meningkat (divergence) atau sudah berada kondisi yang menurun (convergence).


Tidak dapat disangkal bahwa ada beberapa factor lain yang juga menentukan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Berdasarkan analisa Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional dijelaskan bab 4 terdahulu, variable-variabel tersebut antara lain: konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah, mobilitas barang (perdagangan) dan factor produksi antar daerah serta alokasi investasi (pemerintah dan swasta) antar wilayah dan lain-lainnya. Bahkan kebijakan yang salah dilakukan oleh suatu daerah dapat pula mempengaruhi ketimpangan pembangunan regional.


Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar wilayah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih rendah. Sedangkan konsentrasi kegiatan daerah ekonomi tersebut dapat diukur dengan menggunakan indek Location Quotient (LQ) atau Industrial Concentration Index (ICI). Index LQ dan ICI ini dapat dihitung dengan menggunakan data nilai tambah masing – masing kegiatan ekonomi sebagaimana terdapat pada PDRB masing-masing daerah atau dengan menggunakan data jumlah pekerja (employment) untuk masing-masing sector.


Mobilitas barang (perdagangan) antar daerah jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena, sebagaiman telah ditunjukan oleh Teori Heckers-Ohlin dalam Ilmu Ekonomi Internasional bahwa bila kegiatan perdagangan internasional dan antar wilyah kurang lancar maka proses penyaman harga factor produksi (Factor Price Equalization) akan terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan akan terhambat dan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung menjadi tinggi. Sedangkan alokasi investasi antar wilayah jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena investasi merupakan salah satu factor utama yang menentukan proses pembangunan.


Karena hubungan antar ketimpangan regional dengan tingkat pembangunan ekonomi tidaklah linear, maka persaman regresi dapat pula dilakukan dalam bentuk fungsi Non Linear. Dengan demikian, persaman yang dapat digunakan untuk mengetahui factor penentu ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah sebagai berikut:


Vw = ∅Yβ (LQ Iy (5.5)



Persamaan ini akan dapat dihitung dengan metode regresi setelah dilakukan transformasi dengan menggunakan logaritma sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut:


Log Vw = log θ+β log Yc +σ log (LQ) (5.6)



Dimana Vw adalah Williamson Index, LQ adalah Location Quotiont, M adalah migrasi (dalam persentase), I adalah alokasi investasi (dalam persentase) dan θ, β, σ, δ, dan y adalah koefisien regresi dan ε adalah factor kesalahan (disturbance term).


Cara lain yang dapat pula dilakukan untuk mengetahui factor penyebab terjadinya ketimpangan tersebut adalah dengan menggunakan analisa Shif-share seperti juga yang telah dilakukan oleh Akita dan Alisyahbana (2002). Menggunakan cara ini akan dapat diketahui apakah penyebab ketimpangan tersebut berasal dari luar daerah (Regional-share) atau dari dalam daerah sendiri (Proportionality Shift dan Differential Shift). Dengan demikian akan dapat pula diketahui factor yang menetukan ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan menggunakan ketiga unsure Shift-share tersebut.


5.3 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia

Munculnya studi Williamson (1965), telah mendorong pula beberapa ahli untuk melakukan studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Studi pertama dilakukan oleh Hendra Esmara (1975) yang menggunakan Williamson Index sebagai ukuran ketimpangan antar wilayah. Untuk mempertajam analisa, kalkulisasi indeks ketimpangan disni dibedakan antara PDRB termasuk dan diluar minyak dan gas alam. Namun demikian, karena ketersediaan data tentang Pendapatan Regional di Indonesia pada saat itu masih sangat terbatas, maka jangka pembahasan pada analisa juga masih terbatas sehingga generalisasi untuk mendapatkan kesimpulan umum masih sulit dilakukan. Kemudian studi ini dilanjutkan oleh Uppal, J.S and Budiono Sri Handoko (1986) menggunakan cara yang sama dan seri data yang lebih panjang. Pada kedua studi ini, ketimpangan yang dimaksud adalah antar provinsi.


Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua studi ini adalah bahwa ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan Negara maju. Bahkan diantara sesame Negara berkembang, ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia termasuk yang lebih tinggi. Kenyataan ini adalah sejalan dengan Hipotesa Neo-Klasik yang diuraikan terdahulu. Disamping itu, terlihat pula bahwa indek ketimpangan tersebut cenderung meningkat antar waktu yang menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia masih belum mencapai puncaknya. Peningkatan ketimpangan ini membawa implikasi negative dan cenderung mendorong timbulnya kecemburuan social daerah terbelakang terhadap daerah maju yang dapat menimbulkan dampak politisi bila tidak diatasi segera mungkin.


Studi lainnya yang membahas ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia adalah Sjarizal (2002) untuk periode 1993-2000. Disamping mengukur tingkat ketimpangan dan tendensinya, studi ini juga mencoba melihat pengaruh ibukota Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah. Untuk keperluan ini, maka indeks ketimpangan diukur baik menggunakan data termasuk DKI Jakarta dan diluar DKI Jakarta. Temuan yang menarik dari studi ini adalah bahwa pengaruh ibukota Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar karena strukur ekonomi kota yang sangat berbeda dibandingkan dengan provinsi. Namun demikian, hasil perhitungan dengan mengeluarkan DKI Jakarta ternyata indeks ketimpangan tersebut masih juga cukup tinggi yaitu sekitar 0,50 dibandingkan Negara lain juga mempunyai tendensi yang terus meningkat antar waktu sebagaimana ditemukan terdahulu. Dengan demikian terlihat bahwa perhitungan indeks ketimpangan dengan mengeluarkan DKI Jakarta ternyata lebih tepat karena perbedaan struktur perekonomian daerah.


Table 5.1 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia 1995 - 2003*


Tahun

Termasuk DKI

Jakarta

Diluar DKI

Jakarta

1993

0,56

0,44

1994

0,59

0,46

1995

0,63

0,48

1996

0,67

0,49

1997

0,69

0,51

1998

0,66

0,52

1999

0,67

0,53

2000

0,66

0,52

2001

0,65

0.51

2002

0,65

0,51

2003

0,64

0,50



Catatan: Dihitung dengan menggunakan formula Willamson Index


Perlu diingat disini bahwa sebagaimana diungkapkan dalam studi Wiliamson bahwa indeks ini sensitive terhadap ukuran wilayah yang digunakan. Ini berarti bahwa bila ukuran wilayah yang digunakan berbeda, maka hal ini akan brpengaruh pada hasil perhitungan indeks ketimpangan. Dengan demikian, analisa perlu dilakukan secara hati – hati bila pembahasan menyangkut dengan indeks ketimpangan antar Negara dimana ukuran wilayahnya akan berbeda satu sama lainnya.


Gambaran lain dari ketimpangan pembangunan antara wilayah di Indonesia diberikan pada studi Akita dan Alisyahbana (2000) dengan menggunakan Theil Index sebagai alat ukur ketimbangan pembangunan antar wilayah. Hal ini menarik pada studi ini adalah, disamping menggunakan ukuran yang berbeda, secara sekaligus dilakukan perhitungan ketimpangan dalam masing-masing wilayah dengan menggunakan metode dekomposisi. Dengan demikian akan dapat diketahui secara sekaligus ketimpangan pembangunan antara propinsi dan antar kabupaten di Indonesia sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.2. Mengingat ketimpangan pembangunan pada tingkat propinsi berkaitan langsung dengan ketimpangan pada tingkat kabupaten dan kota, maka pengukuran ketimpangan dengan menggunakan Theil Index ini sangat penting artinya dalam pengambilan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut.


Tabel 5.2 Ketimpangan Pembangunan Antar Propinsi dan Antar Kabupaten di Indonesia 1993-1998


No.

Propinsi, kabupaten dan kota

1993

1994

1995

1996

1997

1998

I
Sumatera
0,024
0,025
0,025
0,028
0,031
0,032


Di Aceh
0,019
0,019
0,019
0,019
0,020
0,018


Sumatera Utara
0,043
0,042
0,038
0,037
0,038
0,034


Sumatera Barat
0,082
0,084
0,090
0,087
0,088
0,111


Riau
0,225
0,240
0,257
0,274
0,299
0,303


Jambi
0,033
0,033
0,036
0,037
0,037
0,036


Sumatera Salatan
0,032
0,033
0,034
0,034
0,036
0,031


Bengkulu
0,016
0,16
0,015
0,014
0,019
0,016


Lampung
0,066
0,065
0,074
0,060
0,065
0,048

II
Jawa-Bali
0,172
0,171
0,170
0,169
0,0167
0,146


DKI Jakarta
0,074
0,079
0,084
0,089
0,090
0,118


Jawa Barat
0,083
0,088
0,098
0,101
0,115
0,101


Jawa Tengah
0,161
0,172
0,0178
0,186
0,187
0166


DI Yokyakarta
0,059
0,059
0,062
0,064
0,069
0,068


Jawa Timur
0,311
0,326
0,343
0,358
0,337
0,365


Bali
0,097
0,097
0,097
0,097
0,097
0,090

III
Kalimantan
0,066
0,065
0,069
0,070
0,069
0,076


Kalimantan Barat
0,110
0,109
0,107
0,105
0,105
0,103


Kalimantan Tengah
0,033
0,033
0,036
0,038
0,039
0,039


Kalimantan Selatan
0,066
0,064
0,060
0,054
0,058
0,069


Kalimantan Timur
0,025
0,022
0,021
0,026
0,024
0,027

IV
Sulawesi
0,002
0,003
0,004
0,006
0,006
0,008


Sulawesi Utara
0,038
0,038
0,037
0,038
0,041
0,046


Sulawesi Tengah
0,002
0,001
0,001
0,001
0,001
0,002


Sulawesi Tenggara
0,068
0,071
0,071
0,072
0,077
0,070


Sulawesi Selatan
0,011
0,010
0,015
0,011
0,013
0,017

V
Pulau Lainnya
0,059
0,055
0,052
0,049
0,059
0,056


Nusa Tenggara Barat
0,022
0,023
0,023
0,023
0,024
0,025


Nusa Tenggara Timur
0,047
0,050
0,058
0,063
0,060
0,056


Timor Timur
0,079
0,081
0,081
0,077
0,083
0,073


Maluku
0,041
0,046
0,051
0,055
0,063
0,062


Irian Jaya
0.112
0,111
0,109
0,106
0,141
0,136

VI
Tendensi Umum














Dalam Propinsi
0,119
0,125
0,131
0,136
0,143
0,141


Antar Propinsi
0,125
0,125
0,125
0,124
0,124
0,108


Dalam Kab/Kota
0,018
0,019
0,020
0,021
0,021
0,018


Total
0,262
0,269
0,276
0,281
0,287
0,266

Catatan: Dihitung dengan menggunakan formula Theil Index


5.4 Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Selanjutnya, pada bagian ini, perlu pula dibahas beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah tersebut. Dengan adanya analisa ini, akan dapat dijelaskan secara empirik unsur penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah tersebut. Disamping itu, analisa ini juga sangat penting artinya karena hasilnya dapat memberikan informasi penting untuk pengambilan keputusan dalam melakukan perumusan kebijakan untuk menanggulangi atau mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah tersebut.



  1. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam

Penyebab utama yang mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing daerah. Sebagiamana diketahui bahwa perbedaan kandungan sumberdaya alam ini di Indonesia ternyata cukup besar. Ada daerah yang mempunyai minyak dan gas alam, tetapi daerah lain tidak mempunyai. Ada daerah yang mempunyai deposit batubara yang cukup besar, tapi daerah lain tidak ada. Demikian pula halnya dengan tingkat kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah.


Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumberdaya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam akan lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan kandungan sumberdaya alam ini dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah yang lebih tinggi pada suatu negara.

  1. Perbedaan Kondisi Demografis

Faktor utama lainnya yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayahadalah bilamana terdapat perbedaan kondisi demografis yang cukup besar antar daerah. Kondisi demografis yang dimaksudkan disini meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimliki masyarakat daerah bersangkutan.


Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mepunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografisnya kurang baik maka hal ini akan meneybabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangktan akan menjadi lebih rendah.

  1. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Kurang lancanya mobilits barang dan jasa dapat pula mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrsi spontan. Alasannya adalah karena bila mobillitas tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi atau daerah tidak dapat dijual kedaerah lainyang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrsi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkan. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelibahan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lian yang membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi pada negara sedang berkembang dimana mobilitas barang dan jasa kurang lancar dan masih terdapatnya beberapa daerah yang terisolir.

  1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yag cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daeerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula sebaliknya bilamana, konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadi pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat.


Konsentrasikegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena terdapatnya sumberdaya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, misalnya minyak bumi, gas, batubara dan bahan mineral lainnya. Disamping itu terdapat lahan yang subur juga turut mempengaruhi, khusunyamenyangkut dengan pertumbuhan kegiatan pertanian. Kedua, meratanya fasilitas transportasi, baik darat, laut dan udara, juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomiantar daerah. Ketga, kondisi demografis (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karenakegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumberdaya manusia tersediadengan kualitas yang lebih baik.

  1. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

Tidak dapat disangka bahwa investasi merupakan salah satu yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat alokasi investasi yang lebih besar dari pemetintah, atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Kondisi ini tentunya akan dapat pula mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi bilamana investasi pemerintah dan swasta yang masuk kesuatu daerah ternyarta lebih rendah.


Alokasi investasi pemerintah kedaerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintah daerah yang dianut. Bila sistem pemerintah daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi. Akan tetapi, sebaliknya bilamana sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak di alokasikan ke daerah seingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah.


Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak ditentukan oleh kekeuatan pasar. Dalam hal ini kekeuatan yang berperan banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam hal ini kekeuatan yang berperan banyak dalam menarik investasi swsta kesuatu daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah. Sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan pula oleh ongkos transfor baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar,tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Termasuk kedalam keuntungan lokasi ini adalah keuntungan aglomerasi yang timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi terkait pada suatu daerah tertentu. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana invetasi cenderung lebih banyak terkonsentrasi didaerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Kondisi ini menyebabkan daerah perkotaan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dari daerah pedesaan.


5.6 Penangulangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Kebijakan dan upaya untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan wilayah sangat ditentukan oleh faktor yang menentukan terjadinya ketimpangan tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 5.5 terdahulu. Oleh karena itu, pembahasan pada bagian 5.6 dikaitkan dengan pembahasan yang dilakukan pada bagian 5.5. Kebijakan yang dimaksudkan disini adalah merupakan upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah.





  1. Penyebaran Pembangunan Prasarana Perhubungan

Sebagaimana ttelah dibahas terdahulu bahwa salah satu penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah karena adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam yang cukup besar antar daerah. Sementara itu, ketidak lancaran proses perdagangan dan mobilitas faktor produksi antar daerah juga turut mendorong terjadinya ketimpangan wilayah tersebut. Karena itu, kebijakan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan tersebut adalah dengan mempelancar mobilitas barang dan faktor produksi antar daerah.


Upaya utuk mendorong kelancaran mobilitas barangdan faktor produksi antar daerah dapat dilakukan melalui penyebaran pembangunan prasarana dan sarana perhubungan keseluruh pelosok wilayah. Prasarana perhubungan yang dimaksudkan disini adalah fasilitas jalan, terminal dan pelabuhan laut guna mendorong proses perdagangan antar daerah. Sejalan dengan hal tersebut jaringan dan fasilitas telokomunikasi juga sangat penting untuk dikembangkan agar tidak ada daerah yang terisolir dan tidak dapat berkomunikasi dengan daerah lainnya. Disamping itu pemerintah perlu pula mendorong berkembangnya sarana perhubungan seperti perusahaan angkutan antar daerah dan fasilitas telekomunikasi. Bila hal ini dapat dilakukan, maka ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi karena usaha perdagangan dan mobilitas faktor produksi, khususnya investasi akan dapat lebih diperlancar. Dengan cara demikian, daerah yang kurang maju akan dapat pula meningkatkan kegiatan perdagangan dan investasi didaerahnya, sehingga kegiatan produksi dan penyediaan lapangan kerja akan dapat pula ditingkatkan. Semua ini akan mendorong proses pembangunan pada daerah yang kurang maju.

  1. Mendorong Transmigrasi dan Migrasi Spontan

Untuk mengurangi kepentingan pembangun antar wilayah, kebijakan dan upaya lain yang dapat dilakukan adalah mendorong pelaksanaan transmigrasi dan migrasi spontan. Transmigrasi adalah pemindahan penduduk ke daerah kurang berkembang dengan menggunakan fasilitas dan dukungan pemerintah. Sedangkan migrasi spontan adalah perpindahan penduduk yang dilakukan secara sukarela menggunakan biaya sendiri. Melalui proses transmigrasi dan migrasi spontan ini, kekurangan tenaga kerja yang dialami oleh daerah terbelakang akan dapat pula diatasi sehingga prosees pembangunan daerah bersangutan akan dapat pula digerakan.


Indonesia sudah sejak lama melakukan proses transmigrasi ini untuk mencapai dua tujuan secara sekaligus. Pertama, program transmigrasi ini dilakukan untuk dapat mengurangi kepadatan penduduk yang terdapat di pulau Jawa yang telah memicu peningkatan pengganguran dan kemiskinan. Kedua, program transmigrasi tersebut juga dilakukan dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah terbelakang yang menjadi tujuan transmigrasi sehingga lahan yang luas tetapi belum dapat dimanfaatkan karena keterbatasan tenaga kerja akan dapat diatasi. Dengan dipergerakannya kegiatan pertanian melalui pemanfaatan tenaga transmigran tersebut, maka kegiatan ekonomi pada daerah terbelakang tujuan transmigrasi akan dapat ditingkatkan sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi.

  1. Pengembangan Pusat Pertumbuhan

Kebijakan lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah melalui pengembangan pusat pertumbuhan (Growth Poles) secara tersebar. Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena pusat pertumbuhan tersebut menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi secara sekaligus. Aspek konsentrasi diperluka agar penyebaran kegiatan pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan masih terus mempertahankan tingkat efesiensi usaha yang sangat diperlukan untuk mengembangkan usaha tersebut. Sedangkan aspek desentralisasi diperlukan agar penyebaran kegiatan pembangunan antar daerah dapat dilakukan sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi.

Penerapan konsep pusat pertumbuhan ini untuk mendorong proses pembangunan daerah dan sekaligus untuk dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan pada kota-kota skala kecil dan menengah. Dengan cara demikian, kota-kota skala kecil dan menengah akan berkembang sehingga kegiatan pembangunan akan lebih disebarkan ke pelosok daerah. Sedangkan upaya untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah melalui peningkatan pembangunan daerah pedesaan ternyata sering gagal dilakukan karena hal ini tidak dapat mempertahankan efesiensi karena lokasinya yang sangat terpencar. Disamping itu, pemilihan lokasi kegiatan ekonomi di daerah pedesaan juga seringkali tidak memenuhi persyaratan ekonomi dari segi analisa keuntungan lokasi yang dapat mendukung pengembangan usaha bersangkutan.

  1. Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan juga dapat digunakan untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hal ini jelas, karena dengan dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktifitas pembangunan daerah, termasuk daerah terbelakang akan dapat lebih digerakan karena ada wewenang yang berada pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya kewenangan tersebut, maka berbagai inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan dapat lebih digerakan. Bila hal ini dapat dilakukan, maka proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat pula dikurangi.


Pemerintah indonsia telah melakukan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan mulai tahun 2001 yang lalu. Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola kegiatan pembangunan didaerahnya masing-masing (desentralisasi pembangunan). Sejalan dengan hal tersebut, masing-masing darah juga diberikan tambahan alokasi dana yang diberikan dalam bentuk “Block Grant” berupa dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumberdaya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dengan cara demikian diharapkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan akan dapat berjalan dengan baik sehingga proses pembangunan daerah dapat ditingkatkan dan ketimpangan pembangunan antar wilayah secara bertahap akan dapat dikurangi.


Sumber : Ekonomi regional 1 (teori dan Aplikasinya). Prof. Sjafrijal.