skip to main | skip to sidebar

Featured Post 3

Sabtu, 11 April 2015

makalah ekonomi

0 komentar


“KARTEL DAN KOLUSI”
Diajukan untuk memenuhi satu syarat mata kuliah Ekonomi Industri














Nama : FuktiatunNadiroh
NIM : 5553102561
Kelas : V-G



JURUSAN ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG - BANTEN
2012


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal.
Berdasarkan definisi ini, satu entitas bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya. Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, dimana terdapat sejumlah kecil penjual. Beberapa contoh kasus kartel di Indonesia adalah kartel terhadap garam, minyak goreng, SMS, Kedelai, dll.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah).
Kartel berawal dari terbentuknya organisasi atau asosiasi oleh kalangan pengusaha dapat menjadi cikal bakal terbentuknya kartel. Ia bahkan memperkirakan, saat ini hampir semua lini usaha di Indonesia melakukan praktik terlarang ini. Terutama yang dinaungi organisasi atau asosiasi. Berdasarkan Data KPPU, sejak berdirinya institusi tersebut sudah memutus perkara persaingan tidak sehat sebanyak 205 perkara.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kartel dan Kolusi
Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal.
Berdasarkan definisi ini, satu entitas bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya.
Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, dimana terdapat sejumlah kecil penjual. Beberapa contoh kasus kartel di Indonesia adalah kartel terhadap garam, minyak goreng, SMS, Kedelai, dll.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
• Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu. Biasanya, imbalannya adalah perusahaan tersebut kembali ditunjuk untuk proyek berikutnya.
• Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung. Broker di sini biasanya adalah orang yang memiliki jabatan atau kerabatnya.
Kartel dan bentuk-bentuk kolusi lainnya cenderung terhambat karena :
• Keadaan yang mendorong setiap perusahaan untuk menjual lebih murah,
• Perusahaan-perusahaan mungkin mempunyai struktur-struktur biaya berbeda yang menyebabkan kesukaran untuk beberapa perusahaan,
• Resesi memberikan ketegangan tambahan terhadap perusahaan-perusahaan,
• Perusahaan-perusahaan baru yang memasuki pasar tidak tahan memikul perjanjian,
• Ketika banyak perusahaan bergabung, maka disiplin menjadi sukar.
Oligopoli merupakan suatu bentuk organisasi pasar dimana penjual atas sebuah produk yang homogen (oligopoly murni) atau produk yang terdiferensial (oligopoly terdiferesial) jumlahnya sedikit. Bentuk organisasi pasar oligopoly paling banyak terjadi di Negara industri seperti Amerika Serikat.
Contohnya untuk produk homogen adalah aluminium dasar dan baja, untuk produk terdiferensial contohnya mobil, sereal, rokok dan sabun. Oligopolis biasanya memilih untuk bersaing dalam hal diferensial produk, iklan dan pemberian layanan (sering disebut nonprice competition).
Ciri istimewa Oligopoli adalah saling ketergantungan atau persaingan antara berbagai perusahaan dalam industri yang merupakan akibat alamiah karena sedikitnya jumlah perusahaan.


Sumber terjadinya oligopoli umumnya sama dengan sumber terjadinya monopoli, yaitu :
1. Skala ekonomi yang bisa dicapai jika jumlah outputnya cukup besar.
2. Kebutuhan Investasi modal yang besar dan input yang terspesialisasi untuk dapat masuk ke industri yang oligopolistik.
3. Adanya hak paten pada perusahaan
4. Brands pada perusahaan dengan pelanggan setianya
5. Kebijakan pemerintah yang memberikan hak monopoli bagi perusahaan tertentu.
KARAKTERISTIK OLIGOPOLI
Bentuk pasar oligopoli dikarakterisasikan berdasarkan:
ü Sejumlah besar perusahaan-perusahaan dominan, dengan beberapa yang kecil lainnya,
ü Suatu produk yang distandarisasikan maupun dibedakan,
ü Kekuatan dari perusahaan-perusahaan dominan terhadap harga, namun ketakutan akan pembalasan,
ü Hambatan-hambatan secara teknologi dan ekonomi untuk menjadi suatu perusahaan yang dominan,
ü Penggunaan persaingan non harga yang ekstensif akibat ketakutan akan perang harga.
Model-model Oligopoli :
1. Model Cournot, bermanfaat dalam oligopoli di antara perusahaan yang saling bergantung sangat erat.
2. Model Bertrand, merupakan model perang harga yang terjadi dalam persaingan perusahaan dengan produk yang homogen.
3. Model Kurva Permintaan Terpatah, merupakan konsep dimana bila seorang goligopolis yang tidak berkolusi menaikkan harga produk, dia akan kehilangan hampir seluruh pelanggannya karena perusahaan lain tidak ikut menaikkan harga.
4. Kesepakatan Kartel. Adalah kolusi yang terjadi antara perusahaan yang bersifat jelas dan eksplisit dimana ada dua jenis kartel yaitu Market-sharing Cartel dan Centralized Cartel
Kepemimpinan Harga. Adalah kolusi yang terjadi antara perusahaan yang bersifat tidak jelas dan implisit.
Jadi secara garis besar, Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.
Cara pencegahannya perusahaan (atau negara) membuat perjanjian kerjasama yang sehat dengan perusahaan (atau negara) lain yang dianggap tidak merugikan orang banyak untuk mencegah kolusi. Praktik kartel ada di setiap negara, tidak kecuali Indonesia. Praktik seperti ini biasanya dilakukan dengan membentuk harga demi meraup untung sebanyak-banyaknya.Yang dirugikan, tentu saja konsumen. Sayangnya, perangkat hukum yang ada di Indonesia belum mampu membendung, apalagi mengatasi kasus ini.
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), maraknya praktik kartel di Indonesia diakibatkan oleh hukuman berupa denda yang relative rendah, hanya Rp25 miliar, sementara keuntungan yang diperoleh dapat mencapai angka triliunan rupiah. Tak heran jika banyak perusahaan atau pengusaha di Indonesia yang berani melakukan praktik haram ini.\
Seperti dilansir detik.com pada awal Agustus 2012 silam, Ketua KPPU Tajuddin Noer Said menjelaskan, UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat seharusnya segera dirubah, sehingga jika ada perbuatan kartel di dalamnya, perusahaan yang melakukan praktik ini dapat dihukum lebih berat, tak hanya didenda maksimal Rp 25 miliar.
2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kartel dan Kolusi
Ada dua faktor yang digunakan oleh KPPU untuk mengidentifikasi indikator awal suatu kartel, yaitu faktor struktural dan faktor perilaku.
a. Faktor structural.
Dalam faktor ini akan diukur beberapa hal, antara lain:
• Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan. Kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak banyak. Indikator tingkat rasio konsentrasi perusahaan adalah persentase dari total pangsa pasar yang dimiliki oleh perusahaan. Persentase ini menunjukan posisi perusahaan dalam berkompetisi dengan perusahaan lain pada pasar bersangkutan.
Pemusatan kekuatan ekonomi atau kosentrasi pasar menunjukan adanya pertumbuhan perusahaan dalam skala besar, dan terjadinya penurunan tingkat kompetisi pada pasar bersangkutan. Mengukur konsentrasi pasar dapat menggunakan pendekatan Herfindahl-Hirschman Index atau HHI. HHI atau dikenal dengan Herfindahl Index merupakan alat yang digunakan untuk mengukur hubungan antara pelaku usaha dengan industri dan merupakan indikator dari besarnya persaingan antara pelaku usaha.
Penurunan pada indeks Herfindahl paa umumnya menunjukan adanya pengurangan dalam kekuatan monopoli dalam menentukan harga di pasar dan peningkatan persaingan yang cukup baik.
Sebaliknya, jika angka indeks menunjukkan kenaikan maka artinya terdapat konsentrasi yang tinggi di satu tangan pelaku usaha. Indek HHI bersifat manipulatif karena terlalu luas atau terlalu sempit dalam menentukan pasar bersangkutan.

• Ukuran Perusahaan. Kartel terbentuk jika pelopornya adalah beberapa perusahaan dengan ukuran yang setara. Hal ini akan memudahkan pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan tidak jauh berbeda.
• Homogenitas produk. Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi konsumen terhadap seluruh produk menjadi tidak jauh berbeda. Ini menyebabkan persaingan harga sebagai satu-satunya variabel persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para pelaku usaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat untuk menghindari perang harga yang dapat menurunkan tingkat keuntungan para pelaku usaha tersebut.
• Kontak multi-pasar. Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga memiliki tujuan pasar yang luas. Kontak yang dilakukan berkali-kali dapat mendorong pelaku usaha yang seharusnya bersaing justru melakukan kolaborasi dengan cara alokasi wilayah ataupun harga.
• Persediaan dan kapasitas produksi. Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan penawaran. Data akan persediaan dan kapasitas produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengidentifikasi kartel.
• Keterkaitan kepemilikan. Keterkaitan kepemilikan baik minoritas maupun mayoritas mendorong pelaku usaha untuk memaksimalkan keuntungan melalui harmonisasi perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang untuk memperkuat kartel dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan.
• Kemudahan untuk masuk pasar. Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan kartel. Pendatang baru akan sangat kesulitan untuk mengisi kekosongan pasar akibat harga kartel yang tinggi
• Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas, & perubahan. Permintaan yang teratur dan inelastisitas dengan pertumbuhan yang stabil akan memberikan jalan terbentuknya kartel. Ini karena pelaku usaha akan sangat mudah memprediksi dan menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan para pelaku kartel tersebut.dalam hal ini KPPU mengukur karakter permintaan melalui survey maupun penelitian pasar.
• Kekuatan tawar pembeli (buyer power). Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan dapat melemahkan kartel, bahkan membubarkannya. Dengan posisi yang demikian, pembeli akan mudah mencari penjual yang mau memasok barang dengan harga terendah. Ini mendorong penjual untuk tidak mematuhi harga kesepakatan kartel, yang menyebabkan kartel tidak akan berjalan secara efektif dan bubar dengan sendirinya.

b. Faktor Perilaku.
• Transparansi dan Pertukaran Informasi. Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran informasi dan transparansi di antara mereka. Peranan asosiasi sangat kuat karena merupakan media pertukaran informasi tersebut.data produksi dan harga jual secara periodik dikirimkan ke asosiasi sebagai upaya kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Pertukaran ini dapat dilakukan tanpa asosiasi, yang justru semakin mencurigakan karena sesama pelaku usaha pesaing saling memberikan informasi harga dan data produksi.
• Peraturan harga dan Kontrak. Perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat adanya kartel di suatu industri. Kebijakan one price policy merupakan alat kontrol yang efeketif antar anggota kartel terhadap kesepakatan harga kartel.

2.3 Perbandingan Pembuktian Kartel di Beberapa Negara.
Amerika merupakan salah satu negara di mana kartel dikategorikan sebagai per se illegal. Evaluasinya difokuskan pada eksistensi perjanjian. Pendekatan ini tidak membutuhkan adanya dampak dari kartel pada persaingan. Perjanjian kartel, dianggap ilegal tanpa harus mengetahui dampaknya pada persaingan.
Selain itu, dengan menggunakan analisis per se, perusahaan tidak berkewajiban untuk menunjukan perlunya perbuatan kartel. Pendekatan per se ini dianggap lebih memberikan kepastian hukum. Akan tetapi, sangat sulit untuk mendapatkan direct evidence seperti perjanjian, baik tertulis maupun tidak tertulis. Oleh karena itu digunakan indirect evidence pada beberapa kasus.
Berikut ini adalah beberapa contoh negara yang menggunakan indirect evidence selain direct evidence.
1. Kasus Steel Cartel (Brazil).
Dalam kasus tersebut, Brazil’s Council for Economic Defence (CADE) menemukan adanya kartel tanpa adanya bukti langsung bahwa perusahaan melakukan koordinasi untuk menaikkan harga. Pada kasus ini CADE menyatakan bahwa perilaku kartel dapat dibuktikan hanya berdasarkan bukti ekonomi, ketika tidak ditemukan adanya penjelasan rasional.
Kenyataannya, CADE memutuskan para pihak dinyatakan bersalah berdasarkan price parallelism dan faktor-faktor lainnya seperti penggunaan bukti pertemuan diantara perusahaan tersebut untuk membicarakan permasalahan diantara mereka sebelum permasalahan tersebut disampaikan kepada Pemerintah.
2. Kasus Sao Paulo Airlines (Brazil).
Pada kasus ini, investigasi yang dilakukan menyimpulkan adanya price parallelism dan juga adanya pertukaran informasi diantara perusahaan pesaing melalui sistem komputerisasi pencatatan harga yang dilakukan oleh perusahaan yang mempublikasikan tarif pesawat (ATPCO).
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh CADE terdapat 3 (tiga) faktor yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut melakukan penetapan harga yaitu price parallelism, pertemuan para pemimpin perusahaan, dan adanya media untuk melakukan koordinasi harga.


2.4 Contoh Kasus Kartel dan Kolusi
Kartel Terhadap Kedelai
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki adanya dugaan penyalahgunaan posisi dominan dan sistem kartel dalam impor kedelai di Indonesia.
"KPPU akan mengambil hak inisiatifnya yang diatur dalam undang-undang untuk menginvestigasi masalah ini," kata Komisioner KPPU Benny Pasaribu, Rabu (1/8/2012).
Benny mengatakan, saat ini ada dugaan pasar impor kedelai ke Indonesia dikuasai satu pengusaha besar. Hal ini menyebabkan pengusaha besar itu mengatur harga dan pengusaha kecil lainnya hanya mengikuti harga tersebut.
Menurutnya, para pedagang kecil impor kedelai sebenarnya bisa menjual harga dibawah harga sekarang, namun hal itu tidak bisa dilakukan. Di dalam hukum persaingan usaha, katanya, itu bisa diduga melakukan konstelasi kartel.
Dia berpendapat segala bentuk persaingan usaha yang tidak sehat harus dihentikan. "Pasar kedelai ini sangat tidak sehat, dan sangat oligopolistik, ada pemain yang dominan di sana," ujarnya. Benny mengakui bahwa harga kedelai mengalami kenaikkan di Amerika Serikat karena kekeringan.
Dia mencontohkan dari Januari hingga Juli kenaikannya hanya 30% dari harga normal di pasar internasional. Namun dia terkejut ketika di Indonesia kenaikan harganya bisa mencapai 60%. Dia menduga ada bentuk kartel dalam praktek impor kedelai berdasarkan data kenaikan harga yang tidak wajar itu.
Benny menyarankan pemerintah seharusnya memiliki regulasi khusus yang mengatur mengenai impor kedelai. Hal ini untuk menghindari ketidak stabilan harga kedelai jika pemerintah mengambil kebijakan impor. Dia juga tidak setuju jika impor kedelai diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta.
Pemerintah diminta untuk mengintervensi, karena kalau terlalu banyak swasta belum tentu bisa efisien dan harganya stabil bahkan cenderung memainkan harga. "Harus kombinasi, ada penyeimbang antara BUMN, koperasi dan swasta dalam impor kedelai. Jika 100 persen diberikan pada swasta, maka pemerintah akan kewalahan untuk pengawasan dan pengendalian harga," kata Benny.
Krisis kedelai yang dipicu gejolak harga kedelai di dalam negeri, dipastikan tidak lepas dari praktek kartel di distributor kedelai. Namun, praktek ini diakui sulit dibuktikan. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Tajoeddin Noer menuturkan, negara harus melakukan intervensi untuk mengamankan harga kedelai yang saat ini melambung tinggi. "Akan sangat susah KPPU untuk membuktikan ada kartel di produsen. Tapi saya berani mengatakan ada kartel di distributor," kata dia di Gedung KPPU.
Dalam isu kedelai, yang memainkan peran lebih besar dalam menentukan harga adalah penjual daripada produsen. "Sejak kita menganut liberalisasi setelah tahun 1998 kelihatan sekali yang lebih berperan adalah penjual daripada produsen," paparnya.
KPPU tidak melihat kasus kedelai ini karena pengaruh harga kedelai di pasar internasional saja."Kita melihat apakah memang sekarang ini kita menganut mekanisme pasar liberalisasi yang membuat negara tidak boleh intervensi," tambahnya.
Dia juga menambahkan, untuk menyelesaikan polemik harga kedelai saat ini harus ada upaya politik, di luar berbagai langkah untuk meningkatkan produksi kedelai nasional. "Kalau pemerintah benar-benar intervensi maka pemerintah benar-benar menyelamatkan perekonomian nasional," tambahnya.
Sedangkan dari pihak pedagang mengaku bahwa tidak terjadi kartel kedelai disini. Direktur Perdagangan Dalam Negeri, Gunaryo, membantah terjadinya kartel serta monopoli importir kedelai. Ia menyatakan semua importir kedelai diperlakukan sama sesuai aturan yang berlaku. Menurut Gunaryo, dalam praktek importasi kedelai, semua perusahaan mesti memiliki NPIK masing-masing. Aturan inilah yang membolehkan bisa tidaknya sebuah perusahaan melakukan impor kedelai.
Namun seiring ketatnya aturan regulasi barang dari Amerika, khususnya soal volume pesanan, maka hanya perusahaan tertentu dengan jumlah besar yang bisa melakukan impor barang dari negara paman sam tersebut, jumlah kecil mereka enggan melayani. Gunaryo mencontohkan Cina dengan pesanan hingga 61 juta ton kedelai kerap mendapatkan kiriman yang cepat. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya membutuhkan kiriman sekitar 1,8 juta ton.
Melihat kondisi seperti itu, untuk mengurangi kerugiaan akhirnya pemerintah memberikan kelonggaran kepada asosiasi tempe tahu melakukan importase secara langsung dari Amerika, tidak melalui perusahaan lain.
Namun jika hal itu sulit ditempuh asosiasi, ia mengamini rencana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk membuat lembaga buffer stock kedelai. Beberapa kalangan bahkan sempat menyebutkan Bulog untuk ikut serta sebagai penyangga bahan dasar makanan tradisional Indonesia itu.
Alasannya, selain mampu menekan harga, Bulog dinilai berpengalaman dalam menjaga stabilitas dan pasokan beras nasional. Ketua KPPU, Tadjudin Noer Said, sebelumnya menduga dua ligopol besar kedelai saat ini, yakni PT Gerbang Cahaya Utama dan PT Cargil Indonesia telah melakukan praktek pasar oligopolisitik atau adanya pengaturan pasokan oleh kedua perusahaan tersebut.
Hal itu didasarkan dominannya kedua perusahaan itu dalam pendistribusian kedelai saat ini. Cargil sudah membantah telah melakukan oligopoly. Hingga kini, kebutuhan kedelai dalam negeri mencapai 2,2 ton juta atau naik dari tahun sebelumnya 2,16 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya berkisar di angka 20-30 persen atau sekitar 850 ribu ton dari total kebutuhan.
• Kartel Penetapan Layanan Tarif Short Message Service (SMS)
KPPU berhasil membongkar praktek kartel yang dilakukan enam perusahaan seluler selama 2004-2008 yang menetapkan persekongkolan harga tarif SMS Rp 350/SMS, konsumen dirugikan mencapai Rp 2,827 triliun. Keenam perusahaan operator seluler tersebut diantaranya PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Mobile-8 Telecom Tbk dan PT Smart Telecom yang telah dihukum denda oleh KPPU. Namun hingga sampai saat ini, kerugian konsumen yang mencapai Rp 2,827 triliun belum bisa ditemukan cara pengembalian ganti kerugiannya.
• Kartel Garam
Praktik kartel garam ini berhasil dibongkar KPPU mulai 2005. Garam yang "dimainkan" adalah bahan baku garam yang dipasok di Sumatera Utara. Pelakunya hanya beberapa perusahaan atau pengusaha. Hingga kini KPPU masih melakukan pengawasan ketat agar kartel jenis ini tak terjadi lagi.
• Kartel minyak goreng curah
Berdasarkan Putusan KPPU No 24/KPPU-I/2009 yang ditetapkan pada 4 Mei 2010, diputuskan ada price pararelism harga minyak goreng kemasan dan curah, dimana 20 produsen minyak goreng terlapor selama April-Desember 2008 melakukan kartel harga dan merugikan masyarakat setidak-tidaknya sebesar Rp 1,27 triliun untuk produk migor kemasan bermerek dan Rp 374.3 miliar untuk produk migor curah.
Namun keputusan KPPU tersebut kandas di tangan Mahkamah Agung (MA) yang menolak keputusan KPPU tersebut atas keberatan yang dilakukan 20 produsen minyak goreng yang menjadi terlapor.

• Kartel Obat Hipertensi jenis amplodipine besylate
KPPU menyatakan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica bersalah telah melakukan kartel dengan menghukum setiap anggota kelompok usaha Prizer yang menjadi terlapor membayar denda Rp25 miliar. Sedangkan Dexa Medica dinilai bersalah melakukan kartel penetapan harga dan dihukum membayar denda Rp 20 miliar dan diperintahkan perusahaan farmasi nasional untuk menurunkan harga tensivask sebesar 60% dari harga neto apotek.
• Kartel penetapan harga tiket dalam Fuel Surcharge
Berdasarkan putusan KPPU No.25/KPPU/2010 Tanggal 4 Mei, memutuskan menghukum sembilan maskapai diantaranya PT Sriwijaya, PT Metro Batavia (Batavia Air), PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), PT Wings Abadi Airlines (Wings Air), PT Merpati Nusantara Airlines, PT Travel Express Aviation Service dan PT Mandala Airlines bersalah telah melakukan kartel dengan melakukan kesepakatan harga patokan avtur selama 2006-2009.
Praktek tersebut menyebabkan konsumen merugi hingga Rp 13,8 triliun. KPPU pun menghukum sembilan maskapai dengan ganti rugi total sebesar Rp 586 miliar. Namun Mahkamah Agung menolak keputusan MA atas gugatan keberatan sembilan maskapai atas putusan KPPU tersebut.
Alat Bukti Berdasarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.04 Tahun 2010. Pasal 36 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa KPPU berwenang untuk mencegah dan menindak pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 2010, baik berdasarkan laporan maupun atas inisiatif KPPU sendiri. Untuk membuktikan telah terjadi kartel dalam suatu industri, KPPU harus mendapatkan satu atau lebih alat bukti. Alat bukti untuk penanganan perkara kartel antara lain:
 Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pemagian wilayah pemasaran.
 Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir.
 Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir.
 Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.
 Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta perubahannya.
 Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.
 Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel.
 Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.
 Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor pendorong kartel sesuai indikator terjadinya kartel.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal.
Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah).
Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
ü Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu.
ü Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara lang

Kartel dan bentuk-bentuk kolusi lainnya cenderung terhambat karena :
• Keadaan yang mendorong setiap perusahaan untuk menjual lebih murah,
• Perusahaan-perusahaan mungkin mempunyai struktur-struktur biaya berbeda yang menyebabkan kesukaran untuk beberapa perusahaan,
• Resesi memberikan ketegangan tambahan terhadap perusahaan-perusahaan,
• Perusahaan-perusahaan baru yang memasuki pasar tidak tahan memikul perjanjian,
• Ketika banyak perusahaan bergabung, maka disiplin menjadi sukar.
Perbandingan Pembuktian Kartel di Beberapa Negara.
Amerika merupakan salah satu negara di mana kartel dikategorikan sebagai per se illegal. Evaluasinya difokuskan pada eksistensi perjanjian. Pendekatan ini tidak membutuhkan adanya dampak dari kartel pada persaingan. Perjanjian kartel, dianggap ilegal tanpa harus mengetahui dampaknya pada persaingan.
Selain itu, dengan menggunakan analisis per se, perusahaan tidak berkewajiban untuk menunjukan perlunya perbuatan kartel. Pendekatan per se ini dianggap lebih memberikan kepastian hukum. Akan tetapi, sangat sulit untuk mendapatkan direct evidence seperti perjanjian, baik tertulis maupun tidak tertulis. Oleh karena itu digunakan indirect evidence pada beberapa kasus.
Berikut ini adalah beberapa contoh negara yang menggunakan indirect evidence selain direct evidence.
1. Kasus Steel Cartel (Brazil).
Dalam kasus tersebut, Brazil’s Council for Economic Defence (CADE) menemukan adanya kartel tanpa adanya bukti langsung bahwa perusahaan melakukan koordinasi untuk menaikkan harga. Pada kasus ini CADE menyatakan bahwa perilaku kartel dapat dibuktikan hanya berdasarkan bukti ekonomi, ketika tidak ditemukan adanya penjelasan rasional. Kenyataannya, CADE memutuskan para pihak dinyatakan bersalah berdasarkan price parallelism dan faktor-faktor lainnya seperti penggunaan bukti pertemuan diantara perusahaan tersebut untuk membicarakan permasalahan diantara mereka sebelum permasalahan tersebut disampaikan kepada Pemerintah.


2. Kasus Sao Paulo Airlines (Brazil).
Pada kasus ini, investigasi yang dilakukan menyimpulkan adanya price parallelism dan juga adanya pertukaran informasi diantara perusahaan pesaing melalui sistem komputerisasi pencatatan harga yang dilakukan oleh perusahaan yang mempublikasikan tarif pesawat (ATPCO). Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh CADE terdapat 3 (tiga) faktor yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut melakukan penetapan harga yaitu price parallelism, pertemuan para pemimpin perusahaan, dan adanya media untuk melakukan koordinasi harga.

3.2 Kritik dan Saran

Kritik:
Kartel dapat merugikan masyarakat karena haraga yang ditetapkan ditentukan secara sepihak oleh perusahaan

Saran:
harus adanya transparansi atau keterbukaan antara perusahaan dan pemerintah dalam menentukan hargayang ditetapkan oleh perusahaan dan haraga yang ditetapkan oleh pemerintah